![]() |
| Penulis |
Penulis: Hasnia Zahirah
Prodi: Pendidikan Bahasa Arab IAIN Parepare
Opini -- “Tanah air bukan hanya tempat lahir, tapi tempat berdiri dan berjuang bersama.” Kalimat ini terasa menggema setiap kali kita mengenang ikrar 28 Oktober 1928, Sumpah Pemuda. Namun, sembilan puluh tujuh tahun kemudian, gema itu terdengar semakin samar. Di tengah derasnya arus globalisasi dan budaya digital, nasionalisme generasi muda seakan kehilangan makna. Apatis terhadap isu kebangsaan, kagum berlebihan pada budaya asing, dan maraknya ujaran kebencian di media sosial menjadi potret suram zaman ini. Lalu, apakah nasionalisme kita benar-benar melemah, atau lingkungan sosial kita yang gagal menumbuhkannya?
Penelitian Saputra dan Najicha (2024) menunjukkan bahwa lingkungan—keluarga, sekolah, dan masyarakat, memegang peran penting dalam membentuk jiwa nasionalisme. Cinta tanah air tidak lahir secara tiba-tiba, tetapi tumbuh dari keteladanan, interaksi, dan kebiasaan sehari-hari. Ketika lingkungan gagal menanamkan nilai kebangsaan, semangat cinta Indonesia pun perlahan memudar.
Sayangnya, banyak keluarga kini lebih akrab dengan gawai ketimbang budaya lokal. Sekolah masih menilai prestasi dari angka, bukan dari karakter. Sementara ruang publik dipenuhi ujaran kebencian dan intoleransi. Dalam suasana sosial seperti ini, sulit berharap nasionalisme tumbuh kokoh—ia ibarat benih yang ditanam di tanah tandus.
Lingkungan negatif bukan sekadar ancaman, tetapi sumber erosi kebangsaan. Ketika masyarakat terbiasa menormalisasi intoleransi, memuja produk luar negeri, dan meremehkan jati diri bangsa, nasionalisme pun kehilangan relevansinya. Padahal, semangat nasionalisme adalah fondasi ketahanan bangsa. Ia bukan slogan kosong, melainkan energi moral yang menyatukan kita di tengah badai globalisasi. Namun, harapan belum padam. Jepang, Korea Selatan, dan Tiongkok menunjukkan bahwa nasionalisme bisa tumbuh berdampingan dengan modernitas. Jepang menanamkan cinta tanah air sejak pendidikan dasar, Korea membangun kebanggaan nasional lewat budaya pop, dan Tiongkok menguatkan nasionalisme lewat kebijakan ekonomi lokal. Dari mereka, Indonesia bisa belajar: globalisasi bukan alasan untuk kehilangan jati diri.
Kini, momentum Sumpah Pemuda menjadi pengingat penting. Keluarga dapat mulai dengan hal sederhana—menyanyikan lagu kebangsaan, mengenalkan tokoh pahlawan, dan menggunakan bahasa daerah. Sekolah perlu menghidupkan kembali proyek kebangsaan yang kreatif dan relevan bagi siswa. Pemerintah dan masyarakat pun mesti membuka ruang bagi ekspresi budaya lokal dan mendukung karya anak bangsa.
Nasionalisme hanya akan hidup bila lingkungan menjadi tanah subur bagi nilai kebangsaan. Karena cinta tanah air bukan sekadar kata indah di upacara peringatan, tetapi tindakan nyata dalam keseharian: menghargai sesama, bangga memakai produk lokal, dan percaya bahwa Indonesia layak dibanggakan.
Sumpah Pemuda bukan sekadar sejarah, ia adalah panggilan untuk menjadikan lingkungan kita kembali Indonesia-sentris, tempat di mana setiap anak muda tumbuh dengan rasa bangga menjadi bagian dari bangsa ini.
Opini yang dipublikasikan di media online ini menjadi tanggung jawab penulis secara pribadi. LPM Red Line tidak bertanggung jawab atas persoalan hukum yang muncul atas tulisan yang dipublikasikan.
.jpg)
