![]() |
Penulis |
Penulis : Asyraf Asseggaf
Mahasiswa IAIN Parepare
Opini--Setiap 1 Mei para buruh di seluruh penjuru negeri turun ke jalan. Mereka tidak hanya memperingati sejarah panjang perjuangan kelas pekerja, tetapi juga membawa tuntutan yang terus-menerus diabaikan: upah layak, sistem kerja adil, dan perlindungan hukum yang nyata. Namun, peringatan May Day ini pasti terasa berbeda. Indonesia tengah bersiap menyambut pro—kontra pemerintahan baru di bawah pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.
Di tengah euforia politik, kelompok buruh justru menyambut transisi ini dengan cemas. Kemenangan Prabowo-Gibran memang sah secara konstitusional, tetapi belum ada sinyal yang kuat bahwa pemerintahan mendatang akan berpihak pada kepentingan buruh. Justru, banyak yang khawatir arah kebijakan akan tetap condong pada investasi dan pertumbuhan ekonomi semu yang mengorbankan perlindungan tenaga kerja.
Masih segar dalam ingatan, bagaimana Undang-Undang Cipta Kerja disahkan tanpa dialog yang cukup. Banyak buruh menolak, tetapi suara mereka diabaikan. Kekhawatiran saat ini adalah, pemerintah baru akan mewarisi cara berpikir yang sama: melihat buruh sebagai beban, bukan sebagai pilar ekonomi nasional. Jika ini terjadi, maka transisi kekuasaan tidak akan membawa perubahan apa-apa bagi nasib buruh.
Maka, wajar jika Hari Buruh kali ini juga dijadikan momentum untuk mengingatkan pemerintah baru: jangan mengulang dosa yang sama. Jangan remehkan suara-suara dari bawah yang selama ini menjadi fondasi kekuatan bangsa. Buruh hanya ingin didengar, dilindungi, dan dihargai atas keringat yang mereka keluarkan setiap hari.
--
Pemerintah baru seharusnya memanfaatkan momentum ini untuk membangun ulang kepercayaan publik, termasuk dari kelompok buruh. Caranya bukan dengan janji, tapi dengan tindakan konkret lalu cabut pasal-pasal bermasalah dalam UU Cipta Kerja, perkuat posisi serikat buruh, dan wujudkan dialog sosial yang sejati.
Mungkin Masih Ada “Warisan” Dari Sebelumnya Pemerintahan sebelumnya telah meninggalkan banyak pekerjaan rumah yang belum terselesaikan dalam sektor ketenagakerjaan. Salah satunya adalah keberadaan UU Cipta Kerja yang hingga kini masih menjadi momok bagi para buruh. Undang-undang ini dianggap melegalkan fleksibilitas kerja yang merugikan pekerja, mulai dari sistem kontrak yang tak terbatas hingga outsourcing yang tak terkendali.
Tidak hanya itu, pengawasan terhadap pelanggaran hak-hak buruh juga lemah. Banyak perusahaan yang tidak memberikan hak cuti, upah lembur, hingga jaminan sosial. Di sisi lain, buruh yang melapor malah sering diintimidasi atau bahkan diberhentikan. Negara terkesan tutup mata, dan pengusaha seolah kebal hukum.
Menurut data Kementerian Ketenagakerjaan yang dilansir oleh CNN Indonesia (16 Februari 2024), sebanyak 109.000 pekerja mengalami PHK sepanjang tahun 2023. Sektor tekstil, alas kaki, dan garmen mendominasi angka ini akibat penurunan permintaan global dan efisiensi produksi. Salah satu contoh nyata datang dari PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), salah satu perusahaan tekstil terbesar di Indonesia, yang pada Maret 2024 merumahkan sekitar 2.000 karyawannya (CNN Indonesia, 26 Maret 2024). PHK besar-besaran ini dilakukan sebagai bentuk efisiensi perusahaan, namun berdampak langsung pada penghidupan ribuan keluarga pekerja.
Fakta ini mempertegas lemahnya daya tahan sistem ketenagakerjaan kita terhadap tekanan ekonomi. Dalam sistem kerja yang fleksibel namun minim perlindungan, buruh selalu menjadi korban pertama saat krisis datang. Sayangnya, belum terlihat keseriusan negara dalam menyiapkan skema perlindungan sosial jangka panjang bagi para korban PHK, apalagi mendorong reformasi struktural yang lebih adil.
Upah minimum juga menjadi isu klasik yang tidak kunjung selesai. Dalam beberapa tahun terakhir, penetapan upah sering tidak memperhitungkan kebutuhan hidup layak secara adil. Pemerintah lebih banyak mempertimbangkan kepentingan pengusaha dan pertumbuhan ekonomi semu ketimbang kesejahteraan pekerja.
Persoalan lainnya adalah perlindungan terhadap buruh perempuan dan buruh migran yang masih minim. Banyak kasus pelecehan, diskriminasi, dan eksploitasi yang tidak ditangani dengan serius. Padahal kelompok ini justru menyumbang devisa besar bagi negara, namun perlindungannya jauh dari memadai.
Pemerintahan baru harus memutus rantai kelalaian ini. Perubahan kebijakan yang lebih berpihak kepada buruh tidak hanya penting secara moral, tapi juga strategis. Negara yang menghargai tenaga kerjanya adalah negara yang akan tumbuh secara adil dan berkelanjutan.
Kecemasan Terhadap Masa Depan BuruhB agi sebagian buruh, perubahan rezim bukanlah hal baru. Mereka sudah mengalami banyak pergantian kekuasaan, tetapi nasib mereka tak kunjung membaik. Maka wajar jika banyak yang bersikap skeptis. Mereka tidak menaruh ekspektasi tinggi, tetapi tetap menuntut pemerintah baru untuk berpihak kepada yang lemah.
Menjadi ke khawatirkan jika pemerintah baru justru memilih jalur represi terhadap aksi-aksi buruh. Latar belakang militeristik Prabowo, meski tidak otomatis mencerminkan gaya represif, tetap menimbulkan kekhawatiran di kalangan aktivis buruh. Mereka takut, kritik dan demonstrasi akan lebih cepat dibungkam ketimbang didengarkan.
Selain itu, sosok Gibran sebagai wakil presiden muda juga belum menunjukkan kepedulian mendalam terhadap isu-isu buruh. Banyak yang mempertanyakan apakah ia akan benar-benar turun tangan menyelesaikan masalah pekerja, atau hanya menjadi simbol generasi muda tanpa substansi kebijakan.
Buruh tidak menuntut sesuatu yang muluk-muluk. Mereka hanya ingin jaminan kerja, upah layak, dan sistem kerja yang adil. Pemerintah hanya perlu memastikan bahwa hukum berpihak pada yang bekerja, bukan hanya pada yang punya modal.
Kalau pemerintah baru benar-benar ingin disebut pro-rakyat, maka keberpihakan pada buruh adalah ujian pertamanya.
Harapan dan Seruan Kolektif
Hari Buruh adalah hari untuk mengingatkan bahwa Indonesia dibangun oleh kerja keras jutaan orang. Mereka yang bekerja dari pagi hingga malam, dari pabrik hingga kantor, dari pasar hingga jalanan. Mereka adalah buruh formal, informal, digital, dan migran. Semua itu berhak mendapatkan perlakuan yang adil.
Momentum ini harus dimanfaatkan untuk membangun solidaritas lintas kelas. Masyarakat luas perlu sadar bahwa nasib buruh bukan hanya urusan serikat, tapi urusan kita semua. Ketika buruh dilemahkan, maka perlindungan kerja kita semua juga ikut terancam.
Serikat buruh juga perlu introspeksi. Mereka harus lebih inklusif dan bersatu. Jangan lagi terpecah oleh perbedaan afiliasi atau kepentingan sesaat. Hanya dengan gerakan yang kuat dan solid, buruh bisa menjadi kekuatan penekan yang efektif terhadap kebijakan negara.
Pemerintah, pengusaha, dan buruh perlu duduk bersama dalam kerangka dialog sosial yang setara. Demokrasi tidak akan hidup jika suara buruh terus dibungkam. Ekonomi tidak akan adil jika keuntungan terus mengalir hanya kepada segelintir orang di atas.
Keadilan sosial hanya bisa terwujud jika keadilan kerja ditegakkan. Dan itu hanya mungkin jika kita semua—pemerintah, masyarakat, dan media mau berpihak kepada mereka yang selama ini terpinggirkan.
Hari Buruh bukanlah seremoni, apalagi sekadar hari libur. Ia adalah peringatan akan pentingnya menghargai kerja, bukan hanya hasil. Di balik pertumbuhan ekonomi, ada peluh buruh yang sering tidak mendapat bagian.
Pemerintahan juga punya peluang untuk menulis babak baru sejarah ketenagakerjaan Indonesia. Tapi itu hanya bisa terjadi jika mereka berani mendengar dan berpihak. Jika tidak, maka sejarah hanya akan mengulang luka yang sama.
Buruh bukan musuh negara, bukan penghambat kemajuan. Mereka adalah tulang punggung bangsa. Maka jangan biarkan mereka terus berdiri di bawah, sementara elit terus naik ke atas.
Kita semua ingin Indonesia maju. Tapi kemajuan itu harus dibangun di atas pondasi keadilan. Dan keadilan hanya bisa dimulai dari mengakui hak-hak buruh sebagai manusia seutuhnya.
Catatan:
Data PHK nasional 2023 merujuk pada laporan CNN Indonesia berdasarkan pernyataan Kementerian Ketenagakerjaan (16 Februari 2024). Data PHK PT Sritex dikutip dari CNN Indonesia, 26 Maret 2024.
Opini yang dipublikasikan di media online ini menjadi tanggung jawab penulis secara pribadi. LPM Red Line tidak bertanggung jawab atas persoalan hukum yang muncul atas tulisan yang dipublikasikan.