Notification

×

Iklan

Iklan

HARDIKNAS 2025 : Pendidikan Butuh Waktu dan Konsistensi Pemerintah

May 2, 2025 | 11:55:00 AM WIB | 0 Views Last Updated 2025-05-02T03:55:18Z

 

Penulis

Penulis : Ahmad Faisal Idrus

Mahasiswa Pascasarjana UNM Prodi S-2 Pendidikan Fisika


Opini--Hari Pendidikan Nasional yang setiap tahunnya kita peringati pada tanggal 2 Mei adalah momentum untuk melakukan refleksi terhadap Pendidikan kita di Indonesia. Untuk melihat kemajuan pendidikan, kita memerlukan fondasi yang kuat dalam sistem pendidikan, tentunya kita harus berawal dari pendidikan dasar bahkan sebelum dasar hingga ada yang beranggapan dari gizinya dulu.


Isu kita masih sama dengan tahun-tahun sebelumnya apabila merujuk ke hasil PISA 2022 bahwa Literasi dan Numerasi kita masih rendah. Mungkin kita bertanya-tanya, ada apa dengan Literasi dan Numerasi ? Perlu kita pahami bersama bahwa kedua hal ini adalah fondasi untuk mempelajari dan mendalami sebuah ilmu. Literasi dan Numerasi ini adalah bekal kita menjadi Longlife Learner (Pembelajar sepanjang hayat).


Selain itu PISA juga mengukur tentang kemampuan Growth mindset yang apabila kita aplikasikan maksudnya yaitu jika saya belajar maka saya bisa melakukan perubahan, isu lain juga bahwa anak-anak belajar karena ingin lulus sekolah lalu kerja bukan tentang Curiosity, rasa ingin tahu, rasa penasaran terhadap ilmu pengetahuan. Sering kali penulis menyampaikan, bahwa sekolah ataupun kuliah itu bukan sepenuhnya untuk bekerja tapi juga untuk menambah khazanah ilmu pengetahuan, belajar melihat suatu hal dari sudut pandang yang lain dan mengolah cara berpikir.


Lalu kemudian sering sekali kita rasakan berganti menteri berganti kebijakan, berganti kurikulum. Di tahun 2025 ini, kita melihat realitas bahwa Menteri Pendidikan dasar dan menengah telah berganti, tentu menjadi diskusi di kalangan masyarakat apalagi guru, apakah kurikulum akan teganti lagi ? lalu kondisi ini membuat kita bertanya, lebih penting mana kurikulum atau kualitas guru ? saya ingin mengajak kita berhenti untuk memperdebatkan hal tersebut, sebab keduanya sama-sama penting. Kurikulum adalah alat bagi guru untuk melakukan tugas pengajarannya. Yang kita perlukan hari ini adalah konsistensi kurikulum dan berikan waktu kepada guru untuk terampil mengimplemintasikan alat bantunya, mari melihat implementasi itu sebagai proses belajar dari guru. Kebijakan perubahan kurikulum yang dilatarbelakangi distrust terhadap guru kini menjadi kurikulum yang trust kepada guru atau Merdeka Belajar. Dari yang guru dibekali materi pengajaran hingga guru dipercayakan penuh untuk memilih dan mengolah sendiri materi ajarnya. Harapannya kurikulum tidak berganti lagi tetapi berikan waktu kepada guru untuk menggunakan kurikulumnya dengan baik dan dengan bekal kepemimpinan instruksional yang dimiliki oleh guru.


Pada proses pendidikan hingga saat ini, pemerintah bekerja dengan berorientasi pada output bukan dengan outcame, output yang dimaksud adalah jumlah sekolah yang diperbaiki, guru yang mendapat sertifikat, dan jumlah kelas yang diperbaiki sedangkan contoh outcome yang bisa kita maknai secara lebih luas, setidak-tidaknya kita dapat menghasilkan pengetahuan baru, orang Indonesia meraih Noble (pikir penulis).

Karena berorientasi dengan output sehingga gambaran besar tentang pendidikan kita tertutup. Selanjutnya, pemerintah punya alokasi resources, dengan kebijakan 20% dari APBN untuk pendidikan maka semua yang diinginkan oleh pendidikan kita itu seharusnya bisa kita capai. Kenyataannya rezim pembangunan yang ketat secara finansial ditengah kebijakan efisiensi anggaran tetapi kita harus melihat sektor-sektor yang harus dikecualikan yaitu pendidikan dan riset itu sendiri salah satunya. Suka atau tidak suka, kita harus mengakui pendidikan kita dipolitisasi. Kita tidak kekurangan orang pintar di pemerintahan, hanya saja posisi pemimpin yang selalu diisi oleh orang politik sehingga pikirnya cuma menghadirkan legacy atau jejak yang besar yang malah sebaiknya melanjutkan apa yang ditinggalkan pemimpin atau menteri pendidikan sebelumnya.


Kembali ke Isu awal terkait Literasi dan Numerasi, untuk meningkatkan kemampuan Literasi dan Numerasi penulis menyarankan yang pertama menghadirkan tim debat disetiap kelas dimulai dari SMP hingga ke SMA yang kemudian akan membuat peserta didik melihat persepsi dari orang lain dan peserta didik juga juga mampu berempati pada persepsi yang kadang-kadang tidak disetujui. Debat kita ketahui kadang mendukung mosi, sehingga kita bisa menyusun argumen dan mengkomunikasikan argumen tersebut. Peserta didik secara tidak langsung akan berliterasi dan mengasah kemampuan itu. Yang kedua, diadakannya Kelas filosofis atau kelas alternatif yang membuat peserta didik mempertanyakan kebenaran saat ini, mempertanyakan aksioma yang dianggap kenyataan, mempertanyakan status quo atau kebiasaan-kebiasaan. Dengan ini, saya yakin generasi kita baik sekarang dan yang akan datang akan menjadi Longlife Learner, baik anak-anak maupun orang dewasa dengan caranya masing-masing.


Sebagai penutup refleksi Hari Pendidikan Nasional, penulis ingin mengajak kita semua mengingat bagaimana Jawaharlal Nehru melihat Pendidikan di India, beliau beranggapan bahwa satu-satunya yang mampu memajukan India adalah Scientific Temper (Perangai Ilmiah). Satu lagi, saat Nagasaki dan Hiroshima dijatuhi bom atom, pertanyaan pertama Kaisar Jepang Hirohito adalah berapa banyak guru yang tersisa ? Sepenting itulah Pendidikan. Khusus untuk kita di Indonesia, Apakah pendidikan berbasis pada keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia sebagai hak dasar warga negara atau pendidikan masih dilihat oleh negara sebagai investasi keluarga sebab saat ini pendidikan hanya sebagian besar dapat dienyam oleh kelas menengah dan kelas atas. Apakah Pendidikan ini kebutuhan negara atau kebutuhan rumah tangga ? 


Opini yang dipublikasikan di media online ini menjadi tanggung jawab penulis secara pribadi. LPM Red Line tidak bertanggung jawab atas persoalan hukum yang muncul atas tulisan yang dipublikasikan.


Selamat Hari Pendidikan Nasional Tahun 2025.

TUTUP IKLAN
TUTUP IKLAN
×
Berita Terbaru Update