Notification

×

Iklan

Iklan

Mahasiswa dan Obsesi Produktivitas: Saatnya Kembali Menjadi Manusia

Nov 4, 2025 | 4:53:00 PM WIB | 0 Views Last Updated 2025-11-04T08:53:28Z

 

Penulis

Penulis: Andi Gustira

Prodi: Pendidikan Agama Islam

Opini -- Kadang aku bertanya pada diri sendiri, apa sebenarnya arti “mahasiswa aktif”? Apakah tentang seberapa sibuk kita, atau seberapa sadar kita hidup di tengah kesibukan itu? 2 tahun terakhir, kehidupan kampus terasa seperti lomba tanpa garis akhir. Setiap minggu ada rapat, seminar, lomba, dan foto dokumentasi yang harus diunggah. Entah sejak kapan, sibuk menjadi semacam simbol keberhasilan. Mahasiswa berlomba-lomba menunjukkan betapa produktif dirinya.


Aku sering melihat teman yang jadwalnya penuh sampai larut malam. Dia tampak hebat, tapi di balik senyumnya tersimpan lelah yang jarang diakui. Ada juga teman yang memilih membaca di sudut perpustakaan ,lalu dicap “kurang aktif.” Padahal, siapa tahu justru di sana ia sedang menata hidupnya pelan-pelan?


Budaya “selalu sibuk” ini muncul karena kita diajarkan bahwa nilai diri ditentukan oleh seberapa banyak hal yang kita lakukan. Semakin padat jadwal, semakin tinggi rasa percaya diri. Tapi, tanpa sadar, kita mulai kehilangan arah. Kita belajar banyak hal, tapi jarang benar-benar memahami satu pun secara mendalam.


Di kampus, produktivitas kadang terasa seperti topeng. Kita sibuk menghadiri acara, tapi lupa menikmati prosesnya. Kita menulis laporan, tapi tak benar-benar membaca isi materinya. Kita berlari dari satu ruangan ke ruangan lain, tapi tidak tahu apa yang sedang kita kejar.


Sungguh ironis.. Kampus yang seharusnya menjadi ruang tumbuh malah berubah menjadi panggung pertunjukan. Yang tampil di depan sering dianggap hebat, sementara yang memilih diam kerap dilupakan. Padahal, tumbuh tidak selalu berarti tampil. Kadang, tumbuh justru terjadi di balik layar, saat seseorang sedang merenung dan belajar memahami dirinya sendiri.


Aku ingat seorang dosen pernah berkata: “Mahasiswa yang hebat bukan yang paling sibuk, tapi yang paling sadar.” Dari perkataan itu aku selalu mengingat bahwa , sibuk tidak selalu berarti produktif, dan produktif tidak selalu berarti berkembang.. Banyak mahasiswa kini menjalani hari seperti mesin yang diatur oleh jam dan notifikasi. Pagi sampai siang kelas , sore lomba, malam rapat lagi. Tubuhnya hadir, tapi pikirannya entah di mana. Kita menabung sertifikat, tapi kehilangan makna. Kita terus berlari, padahal tak semua tujuan perlu dikejar dengan kecepatan.


Mungkin, kita memang butuh berhenti sebentar. Menarik napas. Mendengar suara hati yg sudah lama tenggelam di antara tugas dan target. Melambat bukan berarti malas. Justru, dalam keheningan, sering kali ide ide besar muncul. Dalam waktu yg tenang, kita bisa memikirkan ulang arah hidup. Mungkin dari situ kita menemukan alasan kenapa dulu ingin kuliah, kenapa memilih jurusan ini, dan apa sebenarnya yg ingin kita berikan untuk masyarakat nanti.


Kampus seharusnya memberi ruang untuk itu, ruang yg membiarkan mahasiswa gagal tanpa takut dihakimi, berpikir tanpa terburu buru, dan belajar dengan cara yang berbeda. Sayangnya, sistem pendidikan kita masih lebih sibuk menilai hasil daripada memahami proses. Sertifikat dianggap bukti keaktifan, bukan perjalanan belajar. Padahal, nilai sejati pendidikan adalah kesadaran, bukan sekadar kecepatan.


Aku tahu, tak mudah keluar dari budaya ini. Kita hidup di zaman di mana semua orang berlomba terlihat “berhasil.” Tapi mungkin, kita bisa mulai dari hal kecil: berani menolak satu agenda yg tidak perlu, berani bilang “tidak” pada kesibukan yg tidak bermakna, dan berani memberi waktu untuk diri sendiri.


Sebab, pada akhirnya, menjadi mahasiswa bukan tentang siapa yang paling sibuk, tapi siapa yang paling jujur menjalani prosesnya. Kita boleh berlari, tapi jgn lupa untuk sesekali berjalan. Kita boleh berambisi, tapi jgn sampai kehilangan arah.


Produktivitas memang penting, tapi kesadaran jauh lebih berharga. Kita butuh keseimbangan, bekerja keras, tapi juga hidup dengan tenang. Belajar sungguh sungguh, tapi juga memberi ruang untuk merasa. Karena hidup bukan lomba. Ia adalah perjalanan. Dan dalam perjalanan ini, kita berhak melambat, agar tidak hanya sampai di tujuan, tapi juga memahami jalan yang kita lalui.


Opini yang dipublikasikan di media online ini menjadi tanggung jawab penulis secara pribadi. LPM Red Line tidak bertanggung jawab atas persoalan hukum yang muncul atas tulisan yang dipublikasikan.

TUTUP IKLAN
TUTUP IKLAN
×
Berita Terbaru Update