Notification

×

Iklan

Iklan

Sejak Dini, Politik Kurang Ajar Telah Dimainkan

Dec 20, 2025 | 7:42:00 PM WIB | 0 Views Last Updated 2025-12-20T11:55:01Z

 

Penulis

Penulis: Muh. Fachrul Ananta

Prodi: Ekonomi Syariah


Opini -- Pemilihan Raya Mahasiswa (Pemira) sejatinya adalah ruang belajar demokrasi. Yang seharusnya dirancang sebagai laboratorium etika politik, tempat mahasiswa memahami nilai kejujuran, independensi, dan keadilan prosedural. Namun ironisnya, ruang ini justru kerap dirusak oleh mereka yang lebih dulu merasa “matang”: para senior yang mengklaim diri sebagai pengawal moral kampus.


Sejak dini, politik kurang ajar telah dimainkan. Intervensi, tekanan, hingga skenario pemenangan yang disusun rapi bukan lagi isu samar, melainkan rahasia umum. Lebih memprihatinkan, semua itu dilakukan atas nama pengalaman dan dalih “demi stabilitas”. KPUM yang seharusnya independen kerap dijadikan alat, sementara adik-adik penyelenggara yang masih belajar dipaksa tunduk pada kehendak kekuasaan tak kasatmata.


Yang paling menyedihkan adalah paradoks moralnya. Di mimbar-mimbar diskusi, mereka lantang mengkritik anggota DPR: politik transaksional, manipulasi sistem, dan menghalalkan segala cara demi kepentingan. Namun ketika praktik serupa mereka lakukan di kampus sendiri, kritik itu seolah berbalik arah. Apakah ini bukan menelan ludah sendiri? Di mana letak perbedaan antara yang dikritik dan pengkritiknya, jika cara bermainnya sama?


Pertanyaan mendasarnya sederhana apakah demokrasi harus selalu dimainkan dengan cara keras? Apakah intervensi dianggap wajar hanya karena dibungkus jargon senioritas dan kepentingan lembaga? Jika sejak mahasiswa cara-cara kotor sudah dinormalisasi, maka jangan heran bila kelak lahir politisi yang lihai beretorika, tapi miskin etika.


Kericuhan dalam Pemilihan Raya Mahasiswa bukan lagi insiden tiap tahun, melainkan tradisi yang dipelihara. Dari tahun ke tahun, polanya nyaris seragam: chaos, saling serang, legitimasi dipertanyakan, lalu semua ditutup dengan kalimat klise “ini pelajaran ke depan”. Namun faktanya, tidak ada pelajaran yang benar-benar diambil. Yang diwariskan justru konflik itu sendiri.


Yang paling tidak adil adalah cara sistem ini memperlakukan adik-adik penyelenggara. Mereka dijadikan tameng sekaligus sasaran empuk. Diserang dari kanan dan kiri, ditekan oleh kepentingan yang bahkan tidak mereka pahami sepenuhnya, lalu disalahkan ketika situasi meledak. Tidak ada ruang aman untuk belajar, tidak ada pendampingan yang sehat, dan hampir tidak pernah ada solusi yang masuk akal. Yang ada hanya tuntutan patuh dan ancaman moral.


Ironisnya, mereka yang paling lantang bicara soal “pengalaman” justru absen ketika tanggung jawab diperlukan. Senior merasa berhak mengatur, menekan, dan mengintervensi, tetapi enggan hadir sebagai penyangga konflik. Ketika Pemira bermasalah, tangan-tangan itu mendadak bersih, seolah kericuhan adalah murni kesalahan teknis adik-adik. Ini bukan pembinaan, ini pembiaran yang disengaja.


Dalam konteks ini, rumor pembentukan Bawasra memang terdengar seperti harapan. Namun harapan itu akan menjadi sia-sia jika Bawasra hanya dijadikan ornamen demokrasi. Kampus tidak membutuhkan pengawas yang sekadar ada di struktur, tetapi tidak berani bersuara. Jika Bawasra hanya hadir sebagai simbol formal tanpa taring, maka ia tidak lebih dari legitimasi baru bagi kekacauan lama.


Bawasra seharusnya menjadi tembok pengaman, bukan penonton. Berani menghentikan intervensi, berani menegur aktor-aktor lama yang selalu bermain dari balik layar, dan berani melindungi penyelenggara dari tekanan yang tidak etis. Jika tidak, maka keberadaannya hanya akan memperpanjang daftar kegagalan Pemira.


Pemira tidak rusak karena mahasiswa tidak dewasa. Pemira rusak karena ada pihak-pihak yang merasa paling dewasa, tapi takut pada kompetisi yang jujur. Selama kekerasan struktural, tekanan moral, dan intervensi dianggap wajar, maka jangan berharap Pemira berjalan damai.


Jika Pemira kali ini kembali ricuh, maka jelas masalahnya bukan pada adik-adik, bukan pada teknis, dan bukan pada sistem semata. Masalahnya ada pada mentalitas lama yang terus dipertahankan. Dan selama itu tidak diputus, Pemira akan terus menjadi arena konflik, bukan ruang belajar demokrasi.


Jika Pemira terus dibiarkan seperti ini, maka ia bukan lagi pendidikan politik, melainkan reproduksi kebusukan. Kampus yang seharusnya menjadi ruang kritik dan pembebasan justru melatih mahasiswa menjadi miniatur kekuasaan yang oportunis. Demokrasi kampus pun kehilangan maknanya sekadar prosedur tanpa jiwa.


Mungkin sudah saatnya kita jujur bercermin dalam masalah Pemira bukan hanya pada sistem, tetapi pada mentalitas mereka yang merasa paling benar, namun takut pada kompetisi yang adil. Selama senior masih gemar mengatur dari balik layar, dan KPUM tak diberi ruang merdeka untuk belajar dan salah, maka Pemira akan terus cacat dan kita semua turut bertanggung jawab atas kerusakan itu.


Opini yang dipublikasikan di media online ini menjadi tanggung jawab penulis secara pribadi. LPM Red Line tidak bertanggung jawab atas persoalan hukum yang muncul atas tulisan yang dipublikasikan.

TUTUP IKLAN
TUTUP IKLAN
×
Berita Terbaru Update