Notification

×

Iklan

Iklan

Opini : Pandemic History

Apr 3, 2020 | 7:09:00 PM WIB | 0 Views Last Updated 2020-04-04T11:44:56Z
yogiekacakra Mahasiswa Program Studi Sejarah Peradaban Islam Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah 03 April 2020


Penulis : yogiekacakra

OPINI-- Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi”. Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?” Ia berfirman, “Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”. Surah Al Baqarah ayat 30.


Dalam surah ini dijelaskan posisi manusia dimuka bumi adalah sebagai pemimpin, “yang menjaga” ekosistem dan seluruh alam, manusia dengan akalnya mampu untuk mengolah hasil alam dan memanfaatkannya sesuai dengan kebutuhan, dan apabila melebihi kapasitas atau dalam hal ini mengeksploitasi alam maka ia telah gagal menjalankan tugasnya sebagai khalifa fil ardh. Ini tentu saja sudah sering sekali terjadi dari zaman dunia masih klasik hingga periode kontemporer. Berbagai dampak dari hasil perlakuan manusia semacam ini juga beragam, salah satu yang paling meresahkan adalah pandemi penyakit menular.

Dalam sejarah dunia pandemi sudah sering terjadi, salah satunya adalah wabah Kolera pada abad ke 19. Wabah ini pertama kali ditemukan di India lalu kemudian masuk ke Batavia (Jakarta saat ini). Di Batavia penyakit ini mudah mewabah karena lingkungan kota yang kotor dan sanitasi yang buruk. Ini karena segala limbah dan kotoran yang dihasilkan manusia di Batavia dibuang begitu saja ke kanal-kanal. Kondisi kanal juga makin rusak gara-gara gelontoran limbah penggilingan tebu hingga penyulingan arak dari daerah selatan kota. Ada juga wabah Ebola yang tak kalah meresahkan dari pandemi yang lain, ketika itu John Vidal, environmental editor The Guardian, mendatangi Desa Maybout di Gabon, asal muasal virus ebola, yang membunuh 11.300 orang dalam dua tahun pada 1996. Ia penasaran mengapa Mayobut yang berada di kawasan hutan tropis bisa menyimpan virus yang ganas itu. Vidal langsung menemukan jawabannya ketika ia berkano (sejenis ketinting/perahu) menyusuri hutan di sana yang telah rusak akibat pembalakan dan penambangan emas. Dari penduduk desa, ia mendapat cerita bahwa orang pertama yang meninggal akibat demam adalah seorang anak yang pergi ke hutan memburu simpanse dan memakan dagingnya. Orang-orang yang turut memakannya tak selamat setelah dua hari demam hebat. Daging simpanse itu kemudian dikenal menyimpan ebola yang menular antar manusia, (dikutip dari selasar.com).

Dari kedua kasus wabah sebelumnya, ini membuktikan bahwa justru manusia itu sendiri yang secara sadar atau tidak sadar mengundang virus tersebut. Sama halnya dengan kasus yang menimpa Dunia pada akhir desember 2019 lalu, virus yang bernama SARS-CoV-2 atau lebih dikenal dengan nama Covid 19 yang membuat gagap seluruh dunia karena mulai menginvasi kehidupan, menyebar hingga menjadi pandemi. Beragam respon dari masyarakat dunia akibat wabah yang satu ini. Panik, berusaha mencari alat pelindung diri, dan banyak yang melakukan Social Distancing (Lockdown) hingga tenaga medis yang kewalahan akibat membludaknya penderita. Tak sedikit pula yang meninggal akibat wabah Covid19 tersebut.

Kelelawar diketahui menjadi inang setidaknya 60 virus (termasuk coronavirus), dan mereka biasanya tinggal di gua-gua. Merusak habitat dan mengkonsumsi satwa liar, berarti sama saja membuka dan memperlemah benteng pertahanan manusia. Karena virus itu butuh inang untuk hidup, dan inang itu adalah satwa liar. Virus, bakteri, dan kuman yang kehilangan tempat tinggal akibat hutan dan alam diinvasi manusia untuk keperluan hidup maupun keserakahan. “Kita menebang pohon, memburu binatang, merenggut mereka dari habitatnya, bahkan menjualnya ke pasar untuk dimakan membuat virus kehilangan rumah alamiahnya,” dan akhirnya mereka mencari inang baru dan itu adalah tubuh manusia. (David Quammen dalam tulisannya di New York Times). Bumi ini sudah banyak yang rusak, dan dia memiliki cara (mekanisme) sendiri untuk melakukan recovery. Dalam proses pemulihan dan upaya mencapai keseimbangan, akan ada berbagai kejadian yang harus dirasakan oleh manusia, termasuk wabah covid19.
 
Dalam sejarah dunia pandemi memang turut mengiringi peradaban manusia, tergantung cara kita menyikapinya. Ada satu peristiwa yang menarik perhatian ketika pandemi lain menginvasi, itu ketika wabah Black death atau Pes pada abad ke 13. Ketika itu Black Death menimbulkan akibat drastis terhadap menurunnya populasi manusia di Eropa, serta mengubah struktur sosial Eropa. Minimnya pengetahuan tentang wabah ini mengakibatkan perburuan dan pembunuhan terhadap kaum minoritas seperti Yahudi, pendatang, pengemis, serta penderita lepra yang dinilai sebagai pembawa penyakit tersebut. Ketidakpastian untuk tetap bertahan hidup menciptakan suatu kecenderungan yang tak sehat pada masyarakat untuk hidup. Tentu saja hal seperti ini tidak pernah kita inginkan terjadi, khususnya dimasa krisis sekarang ini.

Menyikapi hal ini, pemerintah dan Ulama menghimbau masyarakat Indonesia untuk melakukan social distancing (Lockdown) guna memutus rantai penyebaran virus covid19 ini. Hal semacam social distancing juga pernah terjadi pada masa lalu, tepatnya pada zaman prasejarah sebelum genus homo sapiens menemukan cara untuk bercocok tanam. Ketika corak kehidupan mereka yang nomaden, berburu dan meramu serta hidup dalam kelompok kecil yang terisolasi, penyakit menular tidak sampai menjadi pandemi karena kesempatan transmisi penyakit dari satu kelompok ke kelompok lainnya sangatlah kecil.

Seluruh lapisan masyarakat sangat berharap pandemi ini segera berakhir, tak terkecuali saya. Saya teringat istilah bang Niel yang saya baca di sebuah Artikel, Phsycal Distancing. Yang harus kita hindari adalah bersentuhan fisik, bukan bersosial (social distancing). Dalam kondisi ini kita semestinya saling menguatkan satu sama lain, saling menyemangati. Manusia adalah zoonpoliticon, sudah sifat alamiah untuk bersosial beruntung ada dunia maya sebagai alternatif. Kalau tidak, entah mau dikemanakan sifat manusia yang satu ini.


Tulisan opini yang dipublikasikan di media online ini menjadi tanggung jawab penulis secara pribadi.
LPM Red Line tidak bertanggung jawab atas persoalan hukum yang muncul atas tulisan yang dipublikasikan.
     
TUTUP IKLAN
TUTUP IKLAN
×
Berita Terbaru Update