Penulis: Muhammad Irghi Almanugrah (Mahasiswa IAIN Parepare)
OPINI-- Dimasa ini Negara sudah mampu memfasilitasi generasi dengan serangkaian konsep edukasi, yang mana sebelumnya dirasakan kurikulum pendidikan tahun 2013 kemudian beralih ke kurikulum merdeka belajar yang mulai terealisasikan secara gradual, kurikulum ini merupakan kebijakan yang dikeluarkan oleh kementerian pendidikan dan kebudayaan pada tahun 2020. Semenjak itu, beberapa kalangan turut memberi partisipasi berupa responnya terhadap kurikulum ini.
Utamanya pada perguruan tinggi yang mulai diterapkan program MBKM atau merdeka belajar kampus merdeka. Di dalamnya terdapat program magang ke instansi perusahaan, ini bertujuan untuk memberi pengayaan dan juga pengalaman kerja kepada para mahasiswa melalui pembelajaran langsung ditempat kerja atau instansi perusahaan sebab pemerintah berupaya menekan angka tingkat pengangguran dengan mensinkronkan pendidikan dengan dunia kerja. Hal ini merupakan suatu problem yang serius manakala berbicara persoalan gerakan mahasiswa.
Kontras dengan program ini secara umum jika dikorelasikan dengan dunia aktivisme mahasiswa berarti ada semacam obat bius bagi gerakan para cendekiawan. Sejarah mencatat bahwa gerakan mahasiswa adalah gerakan yang mampu menekan dan mengontrol kekuasaan mulai dari rezim orde lama sampai sekarang. Ini yang perlu di reinterpretasikan bahwa dengan keluarnya kebijakan MBKM akan mempengaruhi spirit dan gerakan mahasiswa dalam memandang isu Negara, perjuangan harus dimanifestasikan melalui pergerakan atas dasar kepedulian. Itulah sedikit gambaran kecil mahasiswa jika dipahami secara kritis.
Seperti halnya pada zaman pemerintahan orde baru dimana pada saat itu dikeluarkannya kebijakan NKK/BKK oleh karena gerakan mahasiswa di anggap terlalu mencampuri urusan pemerintah sehingga lambat laun mahasiswa stagnan terlalu sibuk mengurusi internal kampus.
Rasanya hal itu kembali terulang dengan kehadiran kebijakan MBKM. Realitanya mahasiswa disiasati agar gerakan-gerakan perlawanannya kepada kekuasaan semakin tak berdaya. Inilah yang disebut sebagai hegemoni melalui konsep pendidikan. Terutama untuk situasi sekarang yang menampakkan bahwa demokrasi dikhianati, konstitusi dikangkangi, dan reformasi dikorupsi, gerakan mahasiswa seperti harimau namun ditidurkan oleh tirani.
Di era distrupsi apalagi pasca pandemi yang tentu sangat berdampak pada aktivitas kemahasiswaan. Disisi lain, pemerintah menggencarkan pemulihan ekonomi Negara, beberapa isu skala nasional dan regional kembali hangat diperbincangkan. Pendidikan kita dipenetrasi oleh kepentingan pasar dengan dalih pengembangan soft skill melalui kebijakan MBKM berharap agar misi percepatan studi mampu berjalan dengan lancar.
Mengutip pernyataan tan malaka bahwa tujuan pendidikan untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan, serta memperhalus perasaaan. Tentu timbul pertanyaan mengenai letak pembentukan moralitas pada program ini. Artinya pendidikan bertujuan bukan hanya dalam dimensi intelektual tapi juga pada aspek pembentukan karakter.
Mahasiswa yang dikenal dengan peran sosialnya sedang dalam permasalahan internal, pasalnya pola didikan yang dijalani kurang mampu mengangkat derajat manusia, bahkan hanya mempertahankan hirarki kekuasaan yang semena-mena.
Pendidikan semestinya mampu mendorong kesadaran humanis sebagaimana yang dikatakan Ki hajar Dewantara; Mendidik dan mengajar adalah proses memanusiakan manusia sehingga memerdekakan manusia adalah kewajiban baik secara fisik, mental, jasmani dan rohani. Tapi sayangnya pendidikan kita dijadikan sebagai alat dominasi kekuasaan serta kepentingan komersial yang akan melestarikan konfigurasi sosial dengan mindset kuliah, lulus, lalu bekerja.
Mahasiswa sebagai pemangku estafet kepemimpinan bangsa tengah dipolarisasi oleh penguasa dan dirancang agar memiliki watak-watak pekerja. Lantaran kesadarannya yang menurut birokrasi, hanya sedikit mahasiswa yang berani mengeluarkan pendapatnya untuk menyuarakan kepentingan rakyat tapi sibuk mengurusi masa depannya dengan penuh ambisi. Hal ini akan mempengaruhi reaksi terhadap ketimpangan yang terjadi dikalangan masyarakat.
Nyata sekali bahwa kebijakan ini menjadi negasi bagi gerakan mahasiswa. Ada formalisasi tandingan yang tumbuh di dalamnya, seekor binatang buas sedang berkembang dalam kandang, dikuasai oleh kerakusan oportunis bahwa mahasiswa menjadikan dirinya tunduk pada siasat birokrasi.
Dampak yang ditimbulkan terhadap dunia aktivisme mahasiswa akan membuat gerakan moral mati dengan sendirinya. Tentu ini menjadi persoalan krusial manakala eksistensi gerakan mahasiswa hilang. Apakah kita hanya bisa tinggal diam jika melihat saudara sebangsa dan setanah air merintih ditekan oleh dominasi kekuasaan yang semena-mena? Kebebasan berserikat, berpendapat dan berkreasi menjadi terancam. Organisasi dalam hal ini menjadi wadah aspirasi mahasiswa untuk mengasah keterampilan dan kepemimpinan juga dibatasi dengan kehadiran program ini.
Apabila gerakan mahasiswa dalam menetralisir fenomena masyarakat telah mati maka tirani tetap perkasa disinggasananya. Inilah yang saya maksud dengan kepentingan penguasa yang mengidap ke dalam sistem pendidikan. Meski tak semuanya belum tersentuh oleh program ini akan tetapi disinilah semestinya kita mampu merefleksi bahwa terdapat upaya yang nampaknya ingin meredam gerakan mahasiswa.
Tulisan opini yang dipublikasikan di media online ini menjadi tanggung jawab penulis secara pribadi. LPM Red Line tidak bertanggung jawab atas persoalan hukum yang muncul atas tulisan yang dipublikasikan.