Notification

×

Iklan

Iklan

Merayakan Hari Pendidikan dalam Sistem yang Belum Merdeka

May 2, 2025 | 3:49:00 PM WIB | 0 Views Last Updated 2025-05-02T07:49:56Z

 

Penulis
Penulis : Muh Dirgantara

Ketua SEMA FAKSHI 2025

Opini -- Setiap tanggal 2 mei, bangsa Indonesia dengan penuh kesadaran memperingati hari pendidikan nasional sebagai bentuk penghormatan terhadap jasa Ki Hadjar Dewantara, pelopor pendidikan nasional yang memperjuangkan hak setiap anak bangsa untuk memperoleh pendidikan yang bermartabat. Namun, di balik seremoni dan retorika yang sering kali terdengar indah, kita perlu bertanya secara jujur dan kritis: sudahkah sistem pendidikan kita benar-benar merdeka? Ataukah perayaan ini justru menjadi pengingat ironis bahwa kita masih terbelenggu dalam sistem yang jauh dari cita-cita kemerdekaan berpikir, kemerdekaan belajar, dan kemerdekaan untuk menjadi manusia seutuhnya?


Pendidikan di Indonesia hari ini masih berjalan dalam kerangka yang banyak dikendalikan oleh standar administratif, penilaian numerik, dan kurikulum yang kerap berubah tanpa landasan filosofi yang matang. Sekolah, yang semestinya menjadi ruang pembebasan dan pemanusiaan, justru sering kali menjadi mesin penghafal, pengikut instruksi, dan pengukur nilai dalam angka-angka yang dingin. Dalam konteks seperti ini, kita patut bertanya: apakah siswa benar-benar sedang belajar, ataukah mereka sedang dilatih untuk patuh? Apakah guru sedang mendidik, atau hanya mengejar target administrasi dan memenuhi beban birokrasi?


Kemerdekaan sejati dalam pendidikan bukan hanya soal akses fisik terhadap ruang kelas atau tersedianya buku dan fasilitas. Lebih dari itu, merdeka berarti kebebasan berpikir, berkarya, dan menjadi diri sendiri tanpa tekanan untuk menyeragamkan mimpi. Sayangnya, sistem pendidikan kita belum memberi ruang yang cukup bagi keberagaman potensi, minat, dan gaya belajar siswa. Semua masih dikurung dalam satu jalur, satu penilaian, dan satu standar yang dianggap ideal. Anak-anak yang tidak cocok dengan pola itu akan dianggap “bermasalah”, padahal bisa jadi mereka hanya berbeda.


Kondisi ini diperparah oleh ketimpangan yang masih mengakar antara wilayah perkotaan dan pedesaan, antara sekolah negeri dan swasta, antara siswa dari keluarga mampu dan mereka yang hidup dalam kekurangan. Di daerah-daerah terpencil, guru masih harus berjuang menempuh jarak yang jauh, kadang tanpa transportasi memadai, demi bisa mengajar. Sementara di sisi lain, pendidikan di kota-kota besar perlahan berubah menjadi komoditas mahal, hanya bisa dinikmati oleh mereka yang punya akses ekonomi dan sosial. Ini bukan sekadar soal distribusi sumber daya, tapi juga mencerminkan bahwa kita belum memiliki sistem yang adil dan merata.


Di era digital saat ini, tantangan lain muncul dalam bentuk ketergantungan terhadap teknologi dan platform daring. Meskipun teknologi bisa menjadi alat bantu yang hebat, kita tidak boleh mengabaikan bahwa banyak siswa masih kesulitan mengakses perangkat dan jaringan internet yang layak. Ketimpangan digital ini semakin memperlebar jurang antara yang bisa dan yang tidak bisa mengakses pendidikan berkualitas. Ketika kita berbicara tentang “merdeka belajar”, maka semestinya juga kita berbicara tentang siapa yang benar-benar bisa merasakan kemerdekaan itu.


Peran guru pun semakin terhimpit oleh tekanan dari berbagai arah. Mereka diharapkan menjadi pendidik yang inspiratif, pengelola administrasi yang rapi, fasilitator pembelajaran yang inovatif, sekaligus perpanjangan tangan dari kebijakan yang berubah-ubah. Di tengah tekanan ini, tidak sedikit guru yang kehilangan gairah mengajar karena merasa tidak dipercaya atau bahkan tidak dihargai secara layak, baik secara ekonomi maupun sosial. Dalam kondisi seperti ini, bagaimana mungkin kita berharap mereka mampu membebaskan murid-muridnya, jika mereka sendiri tidak merasa merdeka?


Pendidikan seharusnya menjadi proses yang memerdekakan, bukan membelenggu. Memerdekakan dari ketakutan untuk salah, dari ketergantungan pada jawaban tunggal, dan dari tekanan untuk selalu sesuai dengan standar luar. Pendidikan yang merdeka adalah pendidikan yang tumbuh dari dalam diri peserta didik, yang mengajak mereka berpikir kritis, berempati, dan bertindak berdasarkan kesadaran, bukan sekadar kepatuhan. Namun, untuk bisa mewujudkan pendidikan seperti itu, kita perlu lebih dari sekadar wacana. Kita perlu keberanian untuk merombak sistem dari akar, bukan hanya mempercantik permukaan.


Perayaan Hari Pendidikan Nasional seharusnya menjadi momentum reflektif, bukan sekadar seremonial. Ia seharusnya menjadi saat di mana kita, sebagai bangsa, merenung: apakah pendidikan yang kita jalankan saat ini mencerminkan nilai-nilai yang diperjuangkan Ki Hadjar Dewantara? Apakah sekolah-sekolah kita sudah menjadi taman yang menyenangkan bagi anak-anak untuk tumbuh dan berkembang? Ataukah masih menjadi tempat yang kaku, menekan, dan menghilangkan kreativitas?


Merdeka belajar bukan hanya slogan, tapi cita-cita yang menuntut perubahan nyata. Kita tidak bisa terus membiarkan sistem yang menyamaratakan segala hal, yang membebani guru, yang mengabaikan perbedaan, dan yang mengorbankan kualitas demi angka-angka semata. Selama pendidikan masih menjadi alat kontrol, bukan alat pembebasan, maka sejatinya kita belum merdeka.


Maka, mari rayakan Hari Pendidikan Nasional bukan dengan kemeriahan yang hampa, tetapi dengan kesadaran kritis bahwa jalan kita masih panjang. Merayakan hari ini artinya meneguhkan komitmen untuk terus memperjuangkan sistem pendidikan yang berpihak pada manusia yang menghargai keberagaman, yang membebaskan pikiran, dan yang menumbuhkan keberanian untuk menjadi diri sendiri. Karena hanya dengan pendidikan yang benar-benar merdeka, bangsa ini bisa berdiri tegak dan bermartabat.


Namun, dalam perjalanan menuju pendidikan yang merdeka, kita juga harus menyadari bahwa akar persoalan tidak hanya terletak pada kebijakan formal semata, melainkan juga dalam budaya pendidikan yang kita pelihara selama ini. Kita hidup dalam masyarakat yang masih sangat mengagungkan prestasi akademik sebagai satu-satunya tolok ukur keberhasilan. Anak-anak didorong sejak dini untuk mendapatkan nilai tinggi, ranking pertama, atau lolos ke sekolah dan universitas favorit. Padahal, pendidikan bukanlah perlombaan cepat-cepatan menuju tujuan tertentu, melainkan proses panjang membentuk manusia yang utuh.


Ketika pendidikan direduksi menjadi soal ujian, skor, dan akreditasi, maka kita sedang menggiring generasi muda untuk mengejar simbol, bukan substansi. Akibatnya, kita menciptakan anak-anak yang cerdas secara teknis namun rapuh secara mental, yang fasih menjawab soal tetapi gagap dalam menghadapi kenyataan hidup. Kita menghasilkan lulusan-lulusan yang baik dalam mengikuti prosedur, tapi belum tentu mampu berpikir kritis, berani berbeda, atau punya komitmen sosial. Semua ini adalah cermin bahwa pendidikan kita masih jauh dari nilai-nilai yang memerdekakan.


Opini yang dipublikasikan di media online ini menjadi tanggung jawab penulis secara pribadi. LPM Red Line tidak bertanggung jawab atas persoalan hukum yang muncul atas tulisan yang dipublikasikan.

TUTUP IKLAN
TUTUP IKLAN
×
Berita Terbaru Update