![]() |
Penulis Muhammad.Fachrul Ananta (Mahasiswa Ekonomi Syariah IAIN Parepare) |
Opini -- Di balik kata “inovasi” dan “transparansi,” beberapa dosen kini semakin giat menjadi influencer dadakan bukan karena prestasi akademik, tapi karena rajin live saat menguji mahasiswa. Sialnya, yang dijadikan bahan konten bukan materi kuliah, bukan seminar ilmiah, tapi kegugupan mahasiswa saat sidang. Tragis!Sudah bukan rahasia lagi. Di TikTok dan Instagram, berseliweran video dosen yang dengan penuh percaya diri menyiarkan proses ujian skripsi, presentasi, bahkan bimbingan. Di satu sisi, kamera menyala, lighting hidup, dan komentar netizen mengalir. Di sisi lain, mahasiswa duduk kaku, tangan gemetar, suara tercekat karena sadar, kesalahannya bisa jadi viral.
Beberapa waktu lalu, beredar live Instagram seorang dosen yang sedang menguji mahasiswa skripsi. Bukan di forum akademik, tapi di linimasa penuh emotikon dan komentar penonton. Mahasiswa yang gugup terlihat salah menyebut teori, dan dosennya malah tertawa, disambut gelak tawa para penonton live. Pertanyaannya: ini sidang ilmiah atau reality show? Fenomena dosen yang suka live saat menguji mahasiswa jelas semakin marak. Bukan satu atau dua, tetapi mulai menjadi semacam “gaya baru” yang dibungkus jargon: transparansi pendidikan. Padahal, kalau mau jujur, sebagian besar tidak lebih dari cari panggung.
Sudah saatnya kampus dan lembaga pendidikan menertibkan dosen-dosen konten ini. Kalau mau jadi selebgram, buatlah akun pribadi. Tapi jangan jadikan perjuangan mahasiswa sebagai komoditas tontonan. Ujian bukan panggung hiburan. Dan mahasiswa bukan aktor dalam sinetron akademik murahan.
Contoh yang sempat ramai: seorang mahasiswa salah menjawab pertanyaan metodologi. Dosen tertawa, lalu berkata, “Wah, ini kayaknya perlu ngulang semester depan.” Suaranya terdengar jelas di live TikTok yang ditonton ribuan orang. Klip itu kemudian dipotong-potong, diedit dengan backsound lucu, dan viral. Si mahasiswa? Hancur mentalnya. Bukan karena gagal, tapi karena dilecehkan di ruang publik.
Yang lebih parah, banyak mahasiswa bahkan tidak diberi tahu bahwa proses ujiannya disiarkan. Tidak ada surat izin, tidak ada persetujuan tertulis. Hak privasi dan psikologis mereka diabaikan demi likes, share, dan views. Kampus pun diam, seolah membiarkan dosen menjadikan ruang akademik sebagai panggung sirkus digital.
Pertanyaannya: Apa tujuan dosen menguji?
Membimbing mahasiswa menjadi sarjana atau mencari validasi dari netizen?
Jika alasan live adalah transparansi, lalu mengapa hanya saat ujian?
Mengapa tidak live juga saat mahasiswa menunggu bimbingan berbulan-bulan tanpa kabar?
Mengapa tidak disiarkan saat nilai mahasiswa hilang karena kelalaian dosen?
Atau saat dosen telat masuk kelas terus-menerus?
Kita harus jujur: banyak dosen tidak lagi membedakan ruang akademik dan ruang publik. Semuanya disatukan dalam satu tujuan: konten yang viral. Dan mahasiswa, seperti biasa, menjadi korban yang tak bisa melawan.
Padahal, Permendikbudristek No. 44 Tahun 2024 tentang Kode Etik Dosen menegaskan bahwa seorang dosen harus menjunjung tinggi asas integritas, kepantasan, dan keterbukaan dalam menjalankan tugas akademik. Asas keterbukaan bukan berarti bebas menyebarluaskan proses ujian mahasiswa tanpa izin. Sebaliknya, setiap tindakan akademik harus menjunjung tinggi hak-hak peserta didik, termasuk hak privasi dan perlindungan psikologis.
Masih dalam regulasi yang sama, Pasal 23 menegaskan bahwa pelanggaran terhadap kode etik dosen dapat dikenakan sanksi etik. Artinya, jika seorang dosen menyalahgunakan proses akademik untuk kepentingan konten pribadi tanpa persetujuan mahasiswa dan otoritas kampus, maka sudah semestinya diberikan teguran, pembinaan, bahkan sanksi formal sesuai aturan lembaga.
Kampus harus membuat regulasi tegas: dosen tidak boleh menyiarkan ujian tanpa izin tertulis dari mahasiswa dan otoritas kampus. Mahasiswa berhak menolak disiarkan, tanpa takut nilainya dipermainkan. Jika memang ingin dokumentasi, gunakan sistem internal kampus, bukan media sosial publik. Yang terpenting: kembalikan marwah dosen sebagai pendidik, bukan kreator konten yang menjual mental mahasiswa demi tayangan lucu-lucuan.
Ujian bukan hiburan. Mahasiswa bukan objek komedi. Jika dosen lebih sibuk mengatur tripod dan lighting daripada membaca skripsi, maka yang perlu diuji sebenarnya bukan mahasiswa, tapi integritas dosennya.
Opini yang dipublikasikan di media online ini menjadi tanggung jawab penulis secara pribadi. LPM Red Line tidak bertanggung jawab atas persoalan hukum yang muncul atas tulisan yang dipublikasikan.