Notification

×

Iklan

Iklan

Regulasi Tanpa Aspirasi : Demokrasi Kampus yang Dibunuh Perlahan

Sep 24, 2025 | 5:23:00 PM WIB | 0 Views Last Updated 2025-09-24T09:37:01Z

 

Penulis

Penulis : Sofyan Ahmad, S.Akun.

Jabatan : Mentri Dalam Kampus DEMA-I IAIN Parepare


Opini -- Senat Mahasiswa Institut (SEMA I) IAIN Parepare sejatinya adalah lembaga legislatif tertinggi yang diharapkan mampu menjamin keberlangsungan demokrasi di lingkungan kampus. Eksistensinya seharusnya menjaga keseimbangan antarorganisasi dan menjadi corong aspirasi mahasiswa. Namun, kenyataan berkata lain: UUD SEMA I yang semestinya lahir dari musyawarah kolektif justru terbit dari ruang yang cacat prosedural. Rapat Dengar Pendapat (RDP) pada Mei 2025 lalu adalah momentum emas bagi SEMA I untuk membuktikan integritasnya. Forum tersebut mestinya menjadi laboratorium demokrasi, tempat gagasan diuji, dan aspirasi mahasiswa diserap. Namun, alih-alih mengakomodasi masukan substansial dari organisasi kemahasiswaan, SEMA I justru menutup telinga. Lebih fatal lagi, mereka menetapkan UUD secara sepihak tanpa mengindahkan hasil forum.


Di sinilah problem utama demokrasi kampus tersingkap: regulasi lahir tanpa legitimasi, aturan ditetapkan tanpa konsensus. Apa artinya musyawarah jika keputusan telah digenggam segelintir tangan? Apa maknanya demokrasi jika suara kolektif dipangkas oleh kepentingan sepihak?


Keputusan sepihak ini bukan hanya kegagalan legislatif, melainkan juga sebuah pengkhianatan terhadap nilai demokrasi yang diagungkan. Dalam teori politik, legitimasi sebuah keputusan tidak hanya ditakar dari produk hukum, tetapi juga dari proses deliberatif yang melahirkannya. Ketika prosesnya cacat, maka hukum yang lahir pun rapuh dan patut ditolak. Ada empat konsekuensi serius dari langkah SEMA I ini. Pertama, runtuhnya legitimasi hukum. UUD yang dipaksakan tanpa restu forum sah secara formal, tetapi cacat secara moral. Kedua, krisis kepercayaan. Bagaimana mungkin mahasiswa percaya pada lembaga legislatif yang abai terhadap suara mereka? Ketiga, matinya budaya demokrasi. Kampus yang seharusnya menjadi ruang pendidikan politik substantif justru mempertontonkan otoritarianisme ala miniatur negara gagal. Keempat, ancaman disintegrasi organisasi. Produk hukum tanpa legitimasi hanya akan melemahkan koordinasi dan memperuncing konflik antarorganisasi.


Di titik ini, jelas bahwa demokrasi kampus di IAIN Parepare sedang dibunuh perlahan. Tidak dengan peluru atau kekerasan fisik, melainkan melalui praktik manipulatif yang mengabaikan partisipasi mahasiswa. Jika hal ini dibiarkan, lembaga legislatif mahasiswa hanya akan menjadi simbol kosong—hidup secara formal, tapi mati secara substansial. Jalan keluar dari krisis ini bukanlah menutup mata, melainkan mengakui kesalahan dan meninjau ulang UU SEMA I. Peninjauan ulang bukan bentuk pelemahan otoritas, melainkan upaya pemulihan marwah lembaga legislatif mahasiswa. Demokrasi kampus hanya bisa hidup jika aspirasi benar-benar menjadi pijakan. Prinsip “dari mahasiswa, oleh mahasiswa, untuk mahasiswa” harus dihidupkan kembali, bukan sekadar dijadikan jargon seremonial.


SEMA I perlu berbenah, segera. Jika lembaga ini benar-benar ingin dihormati, maka ia harus kembali ke rel demokrasi, membuka ruang dialog inklusif, dan menempatkan aspirasi mahasiswa sebagai landasan setiap kebijakan. Sebab pada akhirnya, yang dipertaruhkan bukan hanya sah-tidaknya sebuah UU, melainkan kredibilitas lembaga legislatif mahasiswa dan masa depan demokrasi kampus itu sendiri.


Opini yang dipublikasikan di media online ini menjadi tanggung jawab penulis secara pribadi. LPM Red Line tidak bertanggung jawab atas persoalan hukum yang muncul atas tulisan yang dipublikasikan.



.

TUTUP IKLAN
TUTUP IKLAN
×
Berita Terbaru Update