Notification

×

Iklan

Iklan

Dulu Milik Penguasa, Kini Milik Rakyat : Wajah Baru PEMILU

Sep 26, 2025 | 10:08:00 AM WIB | 0 Views Last Updated 2025-09-26T02:08:20Z

 

Penulis

Penulis : Aisyah Djauhar

Jabatan : Komisi Undang-Undang Senat Mahasiswa IAIN Parepare



Opini -- Sejauh ini, Indonesia telah melalui perjalanan yang sangat panjang dengan berbagai era pemerintahan. Pada masa pemerintahan Soeharto atau yang dikenal dengan istilah orde baru, Indonesia berada dalam sistem politik yang cenderung absolut. Kekuasaan berpusat pada presiden beserta lingkaran elit yang berada di sekitarnya, sehingga rakyat tidak memiliki ruang untuk menyalurkan aspirasi. Pola yang digunakan ialah dengan mengiring masyarakat untuk memberikan dukungan kepada partai Golkar sebagai partai utama rezim. Dominasi ini diperkuat dengan hadirnya campur tangan birokrasi dan militer yang menjadikan politik di masa itu sebagai alat pelanggeng kekuasaan. 


Sentralisasi kekuasaan seperti ini menjadikan presiden tidak hanya sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, lebih dari itu-presiden menjadi figur dominan dalam dalam mengatur segala lini sektor-politik, ekonomi, hingga militer.


Pasca runtuhnya orde baru-masa reformasi, Indonesia mulai beralih menuju sistem pemerintahan yang demokrasi-dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Demokrasi hadir sebagai jalan keluar untuk membatasi sistem absolut. Trias Politika menjadi prinsip yang dijadikan rujukan dalam membangun demokrasi pasca orde baru. Trias Politika menekankan pentingnya pemisahan kekuasaan menjadi 3 cabang; Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif. Hal ini bertujuan agar tidak terjadi lagi penumpukan kekuasaan, sehingga setiap lembaga memiliki fungsi pengawasan masing-masing (checks and balances).


Sejalan dengan itu, lahirlah berbagai regulasi yang mempertegas prinsip demokrasi, salah satunya ialah Undang-Undang No.7 Tahun 2017 tetang Pemilihan Umum yang menegaskan bahwa setiap warga negara memiliki hak untuk berpartisipasi secara setara dalam proses politik, baik sebagai pemilih maupun sebagai calon yang dipilih. Artinya, terkait syarat calon anggota legislatif, presiden, hingga kepala daerah memiliki hak untuk dipilih sesuai ketentuan yang berlaku.


Salah satu wujud nyata dari implementasi demokrasi yang dijalankan pemerintah khususnya lembaga legislatif ialah menghadirkan Rapat Dengar Pendapat (RDP) sebgai sarana menampung sekaligus menyalurkan aspirasi masyarakat dalam proses perumusan kebijakan publik. Tentu, lembaga legislatif harus benar-benar memastikan bahwa suara masyarakat benar-benar diakomodasi dalam keputusan akhir.


Rapat Dengar Pendapat (RDP) menjadi pintu bagi semua elemen masyarakat-baik akademis, aktivis, organisasi masyarakat sipil, hingga perwakilan rakyat kecil untuk ikut serta mewarnai proses bernegara termasuk pemilihan umum (PEMILU) hingga tercipatalah sistem demokrasi yang diharapkan.


Meski begitu, dalam perumusan kebijakan termasuk RDP, selalu ada dinamika yang tidak bisa dihindari. Aspirasi yang beragam dari berbagai kalangan yang bertentangan dan tidak semuanya dapat diakomodasi secara bersamaan seringkali menjadi konflik antar aspirasi. Perlu kita pahami bersama bahwa demokrasi sejatinya tidak hanya berbicara tentang siapa yang menang dalam pengambilan Keputusan, melainkan begaimana proses demokrasi dapat berjalan adil dan terbuka.


Opini yang dipublikasikan di media online ini menjadi tanggung jawab penulis secara pribadi. LPM Red Line tidak bertanggung jawab atas persoalan hukum yang muncul atas tulisan yang dipublikasikan.


TUTUP IKLAN
TUTUP IKLAN
×
Berita Terbaru Update