Notification

×

Iklan

Iklan

Dua Pilar Bangsa yang Terlupakan

Aug 26, 2025 | 3:39:00 PM WIB | 0 Views Last Updated 2025-08-26T07:39:30Z
Penulis

Penulis: Ahmad Bilal 

Jabatan: Pengurus SEMA-IAIN Parepare


Opini-- Bangsa ini berdiri di atas pundak guru dan petani. Guru yang membentuk akal, petani yang menjaga lambung bangsa. Tanpa mereka, NKRI bukan apa-apa.


Mereka adalah dua pilar yang menopang negeri. Dua wajah sederhana yang setiap hari berhadapan langsung dengan kehidupan rakyat. Guru dengan kapur di tangannya, menggoreskan masa depan di papan tulis. Petani dengan cangkul di pundaknya, menanam harapan di tanah yang semakin sempit.


Tetapi, lihatlah hari ini. Petani berangkat ke ladang sejak pagi buta, kaki mereka menapak lumpur, tangan mereka beradu dengan terik matahari. Namun ketika panen tiba, hasil jerih payahnya dihargai murah, dimainkan oleh tengkulak, ditekan oleh pasar, diperas oleh pajak. Mereka yang memberi makan bangsa justru menjadi golongan yang paling sering merasakan lapar.


Guru pun sama nasibnya. Seumur hidup mendidik, menyalakan pelita di tengah kegelapan. Namun di hari tua, gaji pensiunnya tak cukup untuk membeli obat, apalagi hidup layak. Menurut data Kementerian Keuangan, pensiun guru rata-rata hanya Rp1–3 juta per bulan, jauh dari kata cukup. Ironisnya, pejabat negara bisa pensiun puluhan juta per bulan, bahkan diturunkan ke keluarga mereka. Yang menanam ilmu justru dibiarkan layu, sementara yang menanam kuasa hidup bergelimang fasilitas.


Lebih menyedihkan lagi, guru honorer —yang jumlahnya lebih dari 1,6 juta orang menurut Kemendikbudristek— sebagian masih menerima gaji di bawah Rp500 ribu per bulan. Padahal UU Guru dan Dosen No. 14 Tahun 2005 secara jelas menyebut guru berhak atas penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum. Jika undang-undang sudah diabaikan, bagaimana mungkin kita bicara soal keadilan?


Di sisi lain, petani pun makin terpinggirkan. UU No. 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petanimenjanjikan kepastian harga dan perlindungan usaha. Kenyataannya, awal 2024 harga gabah justru anjlok di bawah Harga Pembelian Pemerintah (HPP), sementara harga beras di pasar melonjak. Petani menjual murah hasil panennya, tetapi masyarakat membeli mahal di pasar. Pertanyaan sederhana: siapa yang sebenarnya menikmati keuntungan dari perut bangsa ini?


Masalah kian parah ketika lahan pertanian semakin menyusut. Data BPS mencatat, setiap tahun sekitar 100 ribu hektar sawah beralih fungsi menjadi kawasan industri dan perumahan. Tak heran, jumlah petani terus merosot: dari 31,7 juta orang (2013) menjadi hanya 29 juta (2023). Anak muda enggan lagi turun ke sawah, karena bertani hanya mewariskan kemiskinan.


Sementara itu, di ruang kekuasaan, wajah ketidakadilan begitu telanjang. Lima tahun duduk di kursi empuk sudah cukup untuk menikmati pensiun seumur hidup. Mereka tak pernah mencangkul tanah, tak pernah mengajari anak bangsa menulis huruf pertama, tapi kenikmatan mengalir tanpa henti. Yang mereka tanam bukan padi, bukan ilmu, melainkan kekuasaan untuk kepentingan diri mereka sendiri.


Gus Dur pernah berkata, “DPR adalah lumbung tikus.” Hari ini, ucapan itu semakin nyata. Rakyat bersuara, mereka berjoget. Rakyat lapar, mereka berpesta. Rakyat menuntut keadilan, mereka menutup telinga dengan musik pesta pora.


konstitusi mengatur terkait pendidikan dan penghidupan dalam Pasal 31 UUD 1945 yang mewajibkan negara membiayai pendidikan, lalu pada Pasal 27 ayat (2) menjamin pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi seluruh rakyat. Guru dan petani adalah penerima hak paling sah dari pasal-pasal tersebut. Ketika mereka mendapat pengabaian dari pemerintah ini berarti pemerintah mengkhianati UUD 1945—dasar negara.


Lalu, mari kita melihat realita ; Guru dan petani hidup di bawah bayang-bayang ancaman modernisasi yang timpang. Sawah mereka tergeser oleh beton, tanah mereka dijual murah untuk proyek, dan mereka hanya menjadi penonton di tanah sendiri. Sementara guru dipaksa beradaptasi dengan teknologi tanpa dukungan layak, dituntut serba bisa, namun tetap diperlakukan seolah hanya angka dalam laporan, bukan manusia yang mendidik generasi.


Kesenjangan pun kian terasa. Di kota, lampu-lampu gemerlap terus menyala, sementara di desa banyak rumah petani gelap gulita. Di kantor-kantor pemerintahan, anggaran miliaran rupiah dihabiskan untuk rapat dan perjalanan dinas, sementara guru honorer masih menunggu gaji tak seberapa. Negeri ini seakan kehilangan rasa malu: berhutang pada rakyat kecil, tetapi bermewah-mewah untuk segelintir penguasa.


Nizar Qabbani pernah berkata, “Bunuh aku dengan kejujuranmu, jangan bahagiakan aku dengan kebohonganmu.” Ucapan ini adalah cambuk bagi penguasa. Lebih baik rakyat menelan pahitnya kenyataan, daripada terus dicekoki janji manis yang berakhir dusta.


Guru dan petani bukan sekadar profesi. Mereka adalah urat nadi bangsa, fondasi yang menyangga peradaban. Mengabaikan mereka berarti memutus aliran kehidupan bangsa ini. Mengkhianati mereka berarti menggadaikan masa depan negeri ini.


Sudah saatnya bangsa ini belajar rendah hati pada guru dan petani. Karena merekalah yang sesungguhnya menjaga Indonesia tetap berdiri. Dan bila penguasa masih menutup mata, rakyat akan terus bersuara: Bahwa tanpa guru, bangsa ini kehilangan akalnya. Dan tanpa petani, bangsa ini kehilangan perutnya.


Jangan pernah remehkan suara rakyat kecil. Mereka mungkin tidak berteriak lantang di podium, tapi jeritan mereka menggema di ladang dan ruang kelas. Dan sejarah selalu membuktikan: ketika rakyat yang terpinggirkan bersatu, kekuasaan sebesar apa pun bisa runtuh.


Opini yang dipublikasikan di media online ini menjadi tanggung jawab penulis secara pribadi. LPM Red Line tidak bertanggung jawab atas persoalan hukum yang muncul atas tulisan yang dipublikasikan.


TUTUP IKLAN
TUTUP IKLAN
×
Berita Terbaru Update