![]() |
Penulis |
Penulis : Muhammad Dirgantara
Jabatan : Ketua SEMA FAKSHI
Opini--Tragedi 28 Agustus 2025 di kawasan Bendungan Hilir, Jakarta, menjadi catatan hitam baru dalam perjalanan demokrasi Indonesia. Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek daring, tewas dilindas kendaraan taktis Brimob saat tengah menjalankan pekerjaannya. Ia bukan orator, bukan provokator, bahkan bukan bagian dari massa aksi yang sedang berlangsung. Namun tubuhnya terhimpit di jalanan, nyawanya melayang, dan namanya kini tercatat sebagai korban nyata dari kegagalan negara melindungi rakyatnya. Peristiwa ini bukan sekadar kecelakaan, melainkan gejala mendasar dari demokrasi yang membusuk di jalanan, ketika aparat yang seharusnya menjaga justru menjadi ancaman, ketika hukum yang seharusnya menjadi pelindung justru ditundukkan di bawah sepatu laras.
Konstitusi Indonesia sudah terang benderang menegaskan hak-hak dasar warga negara. Pasal 28A hingga 28I UUD 1945 menjamin hak hidup, rasa aman, serta kebebasan berkumpul dan menyatakan pendapat. Hak untuk hidup ditempatkan sebagai non derogable rights atau hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Artinya, dalam situasi apa pun negara tidak boleh melakukan tindakan yang merampas nyawa warganya, kecuali dengan alasan yang sah dan terukur. Ketika seorang warga sipil tewas bukan karena tindak pidana umum, melainkan akibat operasi aparat bersenjata di jalan raya, maka sesungguhnya yang dilanggar bukan hanya undang-undang, tetapi juga janji konstitusional negara terhadap rakyatnya.
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum mempertegas kewajiban aparat dalam melindungi kebebasan berekspresi. Pasal 5 ayat (1) menyatakan secara eksplisit bahwa aparatur pemerintah wajib dan bertanggung jawab untuk melindungi hak asasi manusia dan menghargai asas legalitas dalam pelaksanaan penyampaian pendapat. Dengan demikian, aparat tidak memiliki ruang hukum untuk bertindak sewenang-wenang, apalagi dengan cara yang membahayakan nyawa warga sipil. Setiap tindakan di luar prinsip proporsionalitas otomatis jatuh pada kategori pelanggaran hukum.
Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian bahkan telah mengatur berlapis-lapis prinsip dalam penggunaan kekuatan, legalitas, nesesitas, proporsionalitas, dan akuntabilitas. Aparat harus melalui tahapan perintah lisan, kendali tangan kosong, hingga penggunaan alat tidak mematikan sebelum sampai pada langkah yang berpotensi membahayakan nyawa. Pertanyaannya, bagaimana mungkin kendaraan taktis lapis baja dikerahkan hingga melindas tubuh manusia? Tindakan itu bukan sekadar pelanggaran prosedural, melainkan pembalikan total atas norma hukum yang berlaku. Apalagi korban yang meninggal bukanlah massa perusuh, melainkan pekerja yang sedang melintas.
Aspek hukum internasional memperkuat argumentasi ini. Prinsip-Prinsip Dasar PBB tentang Penggunaan Kekuatan dan Senjata Api menegaskan aparat hanya boleh menggunakan kekuatan mematikan ketika ada ancaman nyata terhadap kehidupan. Minnesota Protocol menuntut penyelidikan independen, imparsial, dan transparan atas setiap kematian yang melibatkan aparat negara. Jika negara gagal memenuhi kewajiban tersebut, maka tragedi semacam ini tak hanya dianggap sebagai pelanggaran hukum nasional, tetapi juga pelanggaran terhadap standar HAM internasional yang sudah diakui Indonesia.
Data yang beredar di lapangan menguatkan posisi kritis publik. Reuters mencatat setidaknya 600 orang ditahan usai bentrokan demonstrasi yang berujung pada kematian Affan Kurniawan. Media dalam negeri menyebut tujuh anggota Brimob diamankan terkait insiden kendaraan lapis baja. Para pejabat tinggi, mulai dari Kapolri hingga Menkopolhukam, sudah menyampaikan permintaan maaf. Namun permintaan maaf tidak serta-merta menghapus fakta hukum. Nyawa seorang warga negara hilang, maka ada pertanggungjawaban pidana yang harus ditegakkan. Apalagi UUD 1945 menegaskan hak hidup sebagai hak absolut, sehingga pelanggaran atasnya menimbulkan kewajiban negara untuk memproses hukum tanpa kompromi.
Dalam doktrin hukum pidana, tanggung jawab tidak berhenti pada pengemudi kendaraan semata. Konsep command responsibility menempatkan tanggung jawab pada komandan lapangan, perancang operasi, hingga pemberi perintah strategis. Jika prosedur pengamanan massa demonstrasi tidak dirancang dengan manajemen risiko yang memadai, maka kematian sipil ini adalah akibat langsung dari kelalaian struktural. Dengan kata lain, pertanggungjawaban harus berlapis, etik, disiplin, administratif, hingga pidana. Jalur etik tidak boleh menjadi substitusi bagi proses pidana yang seharusnya berjalan di pengadilan umum.
Konteks sosial politik memperburuk keadaan. Demonstrasi mahasiswa yang mewarnai tragedi ini adalah bagian dari ekspresi kekecewaan terhadap kebijakan pemerintah. Aksi jalanan adalah saluran demokrasi yang sah, dijamin oleh undang-undang, dan diakui oleh praktik internasional. Jika demonstrasi dijawab dengan tindakan represif berlebihan hingga memakan korban jiwa, maka pesan yang ditangkap publik bukan lagi sekadar lemahnya aparat dalam mengatur massa, melainkan adanya kebusukan struktural dalam demokrasi itu sendiri. Demokrasi yang sehat seharusnya menyalurkan kritik rakyat, bukan menindasnya.
Apa yang harus dilakukan negara kini jelas. Pertama, menggelar penyelidikan pidana yang independen sesuai standar Minnesota Protocol, bukan sekadar investigasi internal. Kedua, menjamin pemulihan penuh bagi keluarga korban, termasuk kompensasi dan dukungan psikososial. Ketiga, melakukan evaluasi menyeluruh terhadap prosedur pengendalian massa, memperbaiki SOP, serta menegakkan prinsip proporsionalitas sebagaimana tertulis dalam Perkap. Keempat, membuka data investigasi kepada publik sebagai bentuk akuntabilitas. Tanpa itu semua, permintaan maaf hanya menjadi basa-basi politik yang tidak menyentuh akar masalah.
Demokrasi yang dibiarkan membusuk akan terus menumbuhkan tragedi serupa, karena aparat akan merasa kebal hukum, dan rakyat terus menjadi korban. Maka peristiwa ini harus dijadikan titik balik. Negara harus menegakkan hukum terhadap dirinya sendiri, bukan demi citra, tetapi demi menyelamatkan nyawa dan martabat rakyatnya. Demokrasi bukanlah jalan yang dipenuhi panser dan peluru, melainkan ruang di mana rakyat merasa aman untuk bersuara. Tanpa itu, yang tersisa hanyalah negara otoriter yang menyamar dalam baju demokrasi.
Opini yang dipublikasikan di media online ini menjadi tanggung jawab penulis secara pribadi. LPM Red Line tidak bertanggung jawab atas persoalan hukum yang muncul atas tulisan yang dipublikasikan.