![]() |
Penulis |
Jabatan: Ketua SEMA FAKSHI IAIN Parepare
Opini -- Di tengah hiruk-pikuk dunia digital dan televisi yang semakin kehilangan arah moral, hadir sebuah tayangan bernama Xpose Uncensored di Trans7. Program ini mengklaim diri sebagai “pengungkap fakta di balik layar kehidupan publik.” Namun di balik kemasan jurnalistik dan gaya dokumentatifnya, tersembunyi satu pertanyaan besar: apakah ini benar-benar upaya mengungkap kebenaran, atau sekadar dagangan sensasi murahan yang menjual aib manusia untuk kepuasan penonton yang lapar drama?
Xpose Uncensored bukan sekadar tayangan, tapi gejala. Ia mencerminkan penyakit media yang makin menjauh dari fungsi pencerahan. Alih-alih menjadi pilar keempat demokrasi yang mendidik dan membangun kesadaran publik, media hari ini menjelma menjadi industri pengintipan sebuah panggung besar tempat aib, konflik, dan kejatuhan moral manusia dijadikan komoditas yang laku keras.
Trans7, yang dulu dikenal dengan tayangan edukatif dan informatif, kini justru ikut terjerumus dalam arus “pasar tontonan.” Xpose Uncensored seolah mengonfirmasi bahwa media bukan lagi penjaga kebenaran, melainkan pedagang perhatian. Slogan “uncensored” di sini bukan lagi simbol keberanian membuka kebenaran, tapi tameng untuk menjustifikasi pelanggaran etika: menampilkan hal-hal yang semestinya menjadi privasi, membumbui fakta dengan narasi dramatis, dan mengundang simpati palsu dari penonton yang tak sadar sedang diseret dalam logika penghakiman massal.
Dalam logika media seperti ini, yang penting bukan lagi “apa yang benar,” tetapi “apa yang viral.” Bukan lagi “apa yang perlu diketahui publik,” melainkan “apa yang bisa membuat publik menatap layar lebih lama.” Program seperti Xpose Uncensored dengan bangga menampilkan konflik keluarga, perbuatan kriminal, hingga sisi gelap kehidupan selebritas, seolah semuanya layak dikonsumsi. Padahal di balik “liputan eksklusif” itu, ada manusia yang dijadikan bahan tontonan; ada nama baik yang dihancurkan; ada privasi yang diretas di depan jutaan mata.
Media seperti ini tidak hanya menelanjangi subjek berita, tapi juga menelanjangi moral penontonnya. Kita sebagai masyarakat dijadikan saksi, sekaligus pelaku diam dari penghakiman publik. Kita tertawa, kagum, lalu mengutuk semuanya diatur oleh kamera dan narasi yang sudah dikemas rapi untuk membangkitkan emosi instan. Dalam konteks ini, Xpose Uncensored bukan lagi sekadar hiburan, melainkan mesin produksi moral palsu yang membuat kita merasa benar hanya karena melihat orang lain salah.
Di sisi lain, media seperti ini bersembunyi di balik alasan klasik: “publik berhak tahu.” Padahal yang sering terjadi bukanlah hak untuk tahu, melainkan hasrat untuk mengintip. Bedanya tipis, tapi sangat mendasar. Hak publik seharusnya digunakan untuk membongkar penyalahgunaan kekuasaan, kebijakan yang merugikan rakyat, atau praktik curang yang mengancam kepentingan umum. Namun Xpose Uncensored justru menyalakan kamera ke arah kehidupan personal, seolah skandal pribadi lebih penting daripada isu kemanusiaan dan keadilan sosial.
Yang lebih menyedihkan, praktik seperti ini kini dianggap normal. Tayangan yang semestinya diprotes malah digemari. Orang-orang menunggu tiap episode dengan rasa ingin tahu, bukan karena ingin belajar, tapi ingin tahu siapa lagi yang akan dipermalukan minggu depan. Media tidak lagi melawan arus moralitas massa, tetapi menungganginya untuk keuntungan iklan dan rating. Mereka tak lagi bicara tentang tanggung jawab sosial, melainkan strategi penjualan.
Padahal, menurut Kode Etik Jurnalistik Indonesia, wartawan wajib menghormati hak privasi, menjunjung praduga tak bersalah, dan menyajikan berita secara berimbang. Prinsip-prinsip ini jelas terinjak oleh format “jurnalistik hiburan” yang digunakan Xpose Uncensored. Fakta diseret ke wilayah gosip, opini diperlakukan sebagai kebenaran, dan empati dikaburkan oleh efek dramatis. Inilah bentuk paling halus dari kekerasan simbolik media: membungkus eksploitasi dengan label “laporan eksklusif.”
Kita sedang hidup di zaman di mana kamera lebih dipercaya daripada nurani. Apa yang terekam dianggap benar, padahal yang terekam hanyalah potongan kecil yang sudah disusun untuk menciptakan kesan tertentu. Xpose Uncensored mungkin mengklaim dirinya transparan, tapi sebenarnya ia adalah cermin buram memantulkan wajah masyarakat yang kehilangan rasa malu, kehilangan batas, dan kehilangan arah moral.
Trans7 sebagai lembaga penyiaran seharusnya sadar bahwa kekuatan media bukan hanya pada kemampuan menghibur, tapi juga membentuk cara berpikir publik. Dengan memilih jalan sensasional semacam ini, Trans7 telah ikut mendorong degradasi etika publik dan menjauhkan masyarakat dari nilai kritis. Jika media terus-menerus menormalisasi eksploitasi aib dan skandal, maka kita sedang menyaksikan proses “pendangkalan kesadaran” secara massal: masyarakat belajar untuk menilai manusia dari aibnya, bukan dari perjuangannya.
Tentu, kritik ini bukan berarti menolak kebebasan media. Tetapi kebebasan tanpa tanggung jawab hanya akan melahirkan kebiadaban yang dibungkus dengan kemasan infotainment. Media semestinya menjadi ruang refleksi, bukan ruang pengadilan. Ia harus membuka pikiran, bukan membuka aib.
Sebagai bangsa yang mengaku beradab, kita mestinya bertanya: mengapa kita begitu mudah tergoda oleh tontonan semacam ini? Mengapa kita menikmati penderitaan orang lain sebagai hiburan? Dan lebih jauh, mengapa media seperti Trans7 merasa bahwa inilah yang masyarakat butuhkan?
Jawaban paling jujur mungkin adalah karena kita memang sudah terbiasa dengan kebisingan, bukan kebijaksanaan. Media hanya menuruti selera pasar yang kita ciptakan sendiri. Tapi justru di sinilah pentingnya kritik: agar kita berhenti menjadi penonton yang pasif dan mulai menuntut media untuk kembali pada fungsi sejatinya mendidik, mencerahkan, dan menjaga akal sehat publik.
Xpose Uncensored mungkin mengaku membuka tabir kebenaran. Namun yang benar-benar terbuka hari ini bukanlah kebenaran, melainkan luka etika yang menganga di tubuh media kita. Dan jika kita terus membiarkannya, maka bukan hanya privasi individu yang akan hilang, tapi juga martabat kita sebagai bangsa yang konon menjunjung nilai kesopanan.
Opini yang dipublikasikan di media online ini menjadi tanggung jawab penulis secara pribadi. LPM Red Line tidak bertanggung jawab atas persoalan hukum yang muncul atas tulisan yang dipublikasikan.