![]() |
| Penulis |
Penulis: Ahmad Mujahidin
Prodi: Bahasa dan Sastra Arab
Opini -- Kampus hari ini seolah olah sibuk dengan kegiatan seremonial di gelar tanpa henti. tapi di balik gemerlap atau cahaya panggung itu, sepertinya ada yang hilang yaitu, jiwa gerakan dan ruh perguruan tinggi. Kegiatan kini lahir bukan dari keresahan mahasiswa atau semangat intelektual, melainkan dari ego institusi yang ingin terlihat unggul di atas kertas akreditasi. Dari gerakan yang seharusnya kritis, kini berubah menjadi dekorasi seremonial demi citra kampus.
Banyak organisasi mahasiswa kini diarahkan menjadi event organizer kampus, bukan lagi ruang dialektika. Dan semua kegiatan diukur dari berapa poin akreditasi, dan kesesuaian dengan target strategis kampus, bukan dari nilai edukatif atau mendidik, sosial, dan kebermanfaatan. Kini Mahasiswa perlahan kehilangan perannya sebagai penggerak, berubah menjadi pion dalam strategi pencitraan kelembagaan.
Dapat kita lihat kalau terus begini, inilah wajah baru di dunia kampus, Pengelola yang ambisius, mahasiswa yang dikendalikan. Kegiatan bukan lagi sarana berpikir, tapi alat validasi. Perguruan tinggi kini hanya jadi hiasan dalam laporan akreditasi, bukan pedoman moral bagi perguruan tinggi. Kita lupa pendidikan sejati bukan panggung dekorasi, tapi ruang pembebasan dan perjuangan.
Sudah waktunya mahasiswa tidak lagi menjadi alat birokrasi. Kembalikan peran kampus sebagai ruang penciptaan ilmu dan keberpihakan sosial. Karna nilai sebuah perguruan tinggi tidak di ukur dari akreditasi, tapi dari sejauh mana ia melahirkan manusia yang berpikir, berjuang, dan berdaya.
Organisasi mahasiswa tingkat fakultas dan UKM pun tak jauh berbeda. Banyak ormawa kehilangan daya kritis karena terlalu sibuk mengejar pengakuan institusi. Proposal kegiatan disusun bukan berdasarkan kebutuhan mahasiswa, tetapi berdasarkan apa yang disukai kampus. Diskusi kritis semakin jarang karena dianggap tidak produktif dan tidak menghasilkan poin. Ormawa yang seharusnya menjadi ruang bebas berpikir justru ikut melanggengkan budaya seremonial.
Ironisnya, ormawa kampus sering kali ikut memperkuat keadaan ini. Banyak organisasi mahasiswa yang lebih takut kehilangan dukungan kampus daripada kehilangan keberanian bersikap. Kritik dibungkam dengan alasan menjaga nama baik institusi. Padahal, sejak awal, organisasi mahasiswa dibentuk bukan untuk menjadi perpanjangan tangan birokrasi, melainkan sebagai ruang kontrol dan penyeimbang kekuasaan di kampus.
Bandingkan dengan kondisi yang seharusnya terjadi. Kampus seharusnya menjadi ruang bebas untuk berpikir dan berdiskusi. Kegiatan mahasiswa lahir dari kebutuhan nyata: keresahan mahasiswa, persoalan sosial, dan kondisi masyarakat sekitar. Ormawa menjadi tempat bertukar gagasan, berdebat secara sehat, dan membangun kesadaran kritis. Seminar bukan sekadar formalitas, tetapi ruang belajar bersama. Aksi bukan dianggap ancaman, tetapi bagian dari proses pendidikan.
Dulu, banyak gerakan mahasiswa lahir dari diskusi kecil dan kegelisahan. Mahasiswa turun ke jalan bukan karena instruksi kampus, tetapi karena panggilan nurani. Hari ini, justru diskusi sering sepi, sementara rapat, acara selalu penuh. Ini menunjukkan bahwa orientasi kita telah bergeser: dari berpikir menjadi mengatur, dari mengkritik menjadi menjalankan.
Sudah waktunya mahasiswa dan ormawa kampus melakukan refleksi. Apakah kita masih menjadi mahasiswa yang berpikir, atau hanya panitia yang sibuk, Apakah organisasi mahasiswa masih menjadi ruang perjuangan, atau hanya tempat mengurus administrasi, Kampus yang sehat bukan kampus yang sepi kritik, tetapi kampus yang berani menghadapi kritik.
Mahasiswa tidak boleh terus-menerus menjadi alat birokrasi. Kampus harus dikembalikan pada fungsinya sebagai ruang penciptaan ilmu dan keberpihakan sosial. Akreditasi memang penting, tetapi bukan segalanya. Ia seharusnya menjadi hasil dari pendidikan yang bermakna, bukan tujuan yang mengorbankan nilai-nilai dasar pendidikan itu sendiri.
Karena pada akhirnya, nilai sebuah perguruan tinggi tidak diukur dari angka akreditasi, melainkan dari sejauh mana ia melahirkan manusia yang mampu berpikir kritis, berani berjuang, dan berdaya di tengah masyarakat. Pendidikan sejati bukan tentang panggung dan dekorasi, tetapi tentang pembebasan dan perjuangan. Jika kampus kehilangan itu semua, maka ia hanya akan menjadi bangunan megah tanpa ruh dan arah.
Opini yang dipublikasikan di media online ini menjadi tanggung jawab penulis secara pribadi. LPM Red Line tidak bertanggung jawab atas persoalan hukum yang muncul atas tulisan yang dipublikasikan.
.jpg)
