Notification

×

Iklan

Iklan

Ketika Ruang Kelas Kehilangan Jiwa: Menggugat Pola Pengajaran yang Membunuh Kemerdekaan Berpikir.

Dec 23, 2025 | 2:12:00 PM WIB | 0 Views Last Updated 2025-12-23T06:12:06Z

 

Penulis
Penulis: Masdar

Fakultas: Tarbiyah


Opini -- Ruang kelas idealnya menjadi tempat tumbuhnya keberanian bertanya, kepekaan membaca realitas, dan keluasan nalar yang membentuk manusia merdeka. Namun di salah satu sudut pendidikan tinggi lokal, mahasiswa justru mengadu bahwa ruang kelas berubah menjadi arena yang serba dikontrol, diatur secara ketat, bahkan dinilai berdasarkan indikator-indikator yang tidak memiliki relevansi akademis. Situasi ini menimbulkan keresahan karena praktik pengajaran seperti itu justru menjauh dari hakikat pendidikan sebagaimana digagas para pemikir bangsa, termasuk Tan Malaka yang menekankan bahwa pendidikan harus membebaskan, bukan mengekang.


Bahwasannya pola mengajar yang totalistik mulai dari aktivitas harian hingga aspek-aspek kecil yang seharusnya tidak masuk penilaian memperlihatkan bahwa pengajar telah menggeser perannya dari fasilitator pembelajaran menjadi teknisi pengendali. Ketika kontrol berada pada tingkat yang ekstrem, mahasiswa bukan lagi subjek pembelajar, tetapi objek produksi yang dibentuk untuk memenuhi preferensi personal sang dosen. Kondisi seperti ini melahirkan ruang belajar yang tidak sehat, karena hubungan pedagogis berubah dari interaksi intelektual menjadi relasi kepatuhan.


Secara epistemologis, mahasiswa seharusnya tumbuh melalui proses menemukan, menguji, dan mengembangkan gagasan. Namun jika setiap langkah pembelajaran telah ditentukan secara mekanis, maka peluang mahasiswa untuk berlatih bernalar akan terhenti. Mereka tidak diberi ruang untuk keliru, bertanya, mempertanyakan, atau mencoba hal-hal baru. Ketika fungsi kritis dipasung, kelas tidak lagi menjadi laboratorium ilmu, melainkan jalur produksi yang menuntut keseragaman mutlak.


Dalam konteks ini, kekhawatiran terbesar adalah terbentuknya generasi “patuh tapi tidak paham.” Mereka mampu mengikuti instruksi teknis, tetapi kehilangan fondasi berpikir yang menjadi esensi pendidikan tinggi. Struktur penilaian yang tidak rasional juga membuat mahasiswa merasa terjebak dalam sistem yang tidak adil, sehingga kepercayaan terhadap lembaga pendidikan terancam runtuh. Ketika mahasiswa mulai menyamakan pendidikan dengan “scam”, maka ada sinyal kuat bahwa telah terjadi distorsi antara tujuan pendidikan dan praktik pengajaran.


Tan Malaka dalam Madilog menegaskan bahwa berpikir merdeka adalah kunci untuk membangun kebudayaan ilmiah. Kemerdekaan ini bukan sekadar kebebasan fisik, tetapi kebebasan mental untuk mengolah, menimbang, dan menyimpulkan berdasarkan logika dan pengalaman. Dengan demikian, pola pengajaran yang menutup ruang kritik sama saja dengan merusak pondasi yang menjadi jantung pendidikan. Ia tidak hanya menghambat perkembangan akademik mahasiswa, tetapi juga mematikan daya hidup intelektual mereka.


Jika dosen menginginkan keteraturan, sebenarnya ada banyak cara pedagogis yang tetap menjaga disiplin tanpa mengorbankan kemerdekaan berpikir. Dialog terbuka, rubrik penilaian yang jelas, ruang diskusi, dan evaluasi yang proporsional adalah contoh model pengajaran yang dapat menjaga keseimbangan antara struktur dan kreativitas. Pengajar juga dapat mendorong mahasiswa untuk menyampaikan pandangan secara argumentatif, bukan sekadar mengikuti pola yang ditentukan.


Perubahan yang diharapkan bukanlah penghilangan peran dosen sebagai pengarah pembelajaran, tetapi reposisi peran tersebut agar lebih mengutamakan pendampingan daripada pengendalian. Pendidikan akan jauh lebih efektif bila dosen menjadi inspirator dan katalis, bukan pengatur mutlak. Dari sinilah atmosfer akademik yang sehat dapat dibangun: ruang kelas yang aman untuk bertanya, berpendapat, dan tumbuh.


Pada akhirnya, opini ini berangkat dari keresahan penuntut ilmu yang suaranya layak didengar karena merekalah yang menjalani langsung praktik pengajaran tersebut. Jika ruang kelas benar-benar telah berubah menjadi ruang teknis yang menuntut kepatuhan total, maka sudah saatnya dilakukan refleksi mendalam. Pendidikan adalah proses memanusiakan manusia, bukan memproduksi mesin patuh.


Perubahan perlu dimulai dari kesadaran dosen untuk mengembalikan ruh pendidikan: membebaskan pikiran, mendorong keberanian intelektual, dan membangun ruang kelas yang menjadi tempat bertumbuhnya manusia merdeka. Tanpa itu, pendidikan hanya akan menjadi cangkang kosong terlihat rapi dari luar, tetapi kehilangan makna di dalamnya.


Opini yang dipublikasikan di media online ini menjadi tanggung jawab penulis secara pribadi. LPM Red Line tidak bertanggung jawab atas persoalan hukum yang muncul atas tulisan yang dipublikasikan.

TUTUP IKLAN
TUTUP IKLAN
×
Berita Terbaru Update