Ahmad Riecardy (PK. PMII IAIN Parepare) |
Oleh : Ahmad Riecardy
Moderasi Islam adalah dua term yang memiliki kesamaan
terminologi. Moderasi menjadi karakter, ciri khas ummat muslim. Sedangkan Islam
adalah jalan yang ditempuh untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan.
Memahami sikap moderasi tidak lepas dari pedoman agama islam yakni Al Quran, Hadist dan kreatifitas pemberian makna, pendapat, tafsir dalam hal ini adalah ijtihad para ulama.
Memahami sikap moderasi tidak lepas dari pedoman agama islam yakni Al Quran, Hadist dan kreatifitas pemberian makna, pendapat, tafsir dalam hal ini adalah ijtihad para ulama.
Alquran menyinggung moderasi dengan kata wasatan dalam awal
surah Al Baqarah ayat 134 "وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا" Wasathan
menurut Prof. Quraish Shihab tidak lain adalah ummat penengah atau ummat
pilihan. Diperkuat dalam hadist
“Sebaik-baik persoalan adalah yang berada di tengah (khairul umûr
ausâthuha").
Sederhananya bahwa nilai-nilai islam wasathiyah senantiasa berdiri tegas dan mengedepankan nilai maslahah dibanding mudharat. Moderasi Islam sebagai sikap wasathan artinya tidak melampaui batas minimal dan maksimal yakni menempatkan sesuatu pada tempatnya (proporsional).
Sederhananya bahwa nilai-nilai islam wasathiyah senantiasa berdiri tegas dan mengedepankan nilai maslahah dibanding mudharat. Moderasi Islam sebagai sikap wasathan artinya tidak melampaui batas minimal dan maksimal yakni menempatkan sesuatu pada tempatnya (proporsional).
Prof. Dr. Yusuf Al Qardawi menyebutkan sikap moderasi sepadan dengan sikap tawazun, iktidal dan istiqomah. Selaras dengan nilai-nilai aswaja yang diajarkan di PMII yakni tawasuth (moderat), tawazun (berimbang), ta'adul (adil) dan tasamuh (toleran).
Islam dalam menjawab problem ummat begitu kompleks, relevan dan kontekstual (shalih li kulli zaman wa makan). Untuknya itu perlu memahami kembali konsep dasar dalam aktualisasi moderasi islam disaat pro kontra pandemi agar tetap proporsional menjawab problem masyarakat khusus ditengah kisruh Covid-19.
Hematnya adalah dengan adanya kebijakan physical distancing.
Semua aktivitas peribadatan berjamaah telah ditiadakan untuk pencegahan
covid-19 berdasarkan anjuran pemerintah dan ijtihad ulama. Disisi lain masjid
ditutup, masih ada tempat-tempat hiburan bahkan pasar sebagai pusat paling
potensial tersebarnya virus saat ini masih dibuka lebar. Nah kini menuai pro
kontra dikalangan ummat Islam.
Pertanyaan adalah bagaimana sikap moderasi kader PMII dalam menyoal kontraversi peribadatan yang terjadi. Implementasi sikap toleran dan moderat kader PMII perlu dituangkan dalam aktualisasi gerakan disaat genting pandemi.
Pertanyaan adalah bagaimana sikap moderasi kader PMII dalam menyoal kontraversi peribadatan yang terjadi. Implementasi sikap toleran dan moderat kader PMII perlu dituangkan dalam aktualisasi gerakan disaat genting pandemi.
Sedikit merefleksi bahwa sikap moderasi Islam atau konsep
keadilan bukan hanya berdasarkan pada kalkulasi matematis. Artinya menutup
masjid bukan berarti lokasi-lokasi lainnya diperlakulan dengan merata. Sebab
dalam usul fiqh kita kenal konsep "Maqashid Syariah". Maqashid
Syariah adalah salah satu bentuk universalitas islam dalam menjawab konteks
zaman berdasarkan timbangan maslahat-nya.
Darinya itu kita kenal Hifdzun an nafs yakni menjaga jiwa.
Apabila pasar ditutup maka masyarakat tidak akan memperoleh supply komoditas
bahan pokok. Sehingga memicu problem sosial ekonomi yang lebih besar lagi
seperti minimnya pasokan barang, kelaparan, perubahan perilaku sosial yang
munkin lebih represif.
Olehnya itu melihat realitas yang terjadi tidak lepas dari
konsekuensi logis atau sebab-akibat yang akan terjadi. Tinggal bagaimana peran
stakeholder yang berwewenang sepatutnya lebih piawai memperhatikan
resiko-resiko kesehatan yang terjadi dipasar ketika masyarakat melakukan
aktivitas jual-beli. Minimal mereka senantiasa menjalankan protokol kesehatan
ketika hendak beraktivitas dipasar.
Tidak dipungkiri barisan fatalis dan tekstualis yang
nantinya akan menambah konflik horizontal dikalangan masyarakat juga perlu
diantisipasi. Mereka secara ideologi ikut meramaikan perjalanan corona di
Indonesia. Jargon-jargonnya begitu krusial dan condong membingunkan. Perilaku
membenarkan diri dan sikap takfirinya (menyalah-menyalahkan) itu sungguh
meresahkan. Acap kali abai terhadap faktor sosial dan tidak mau tahu kebenaran
selain yang ada padanya.
Menarik dari ungkapan H. Islamul Haq "Corona dapat membunuh manusia tetapi jangan biarkan corona
membunuh kemanusiaan". Perkataan itu bisa menjadi bahan renungan kita
terhadap mereka-mereka yang hanya mementingkan diri, egois dan tidak taat pada
pemerintah dan aturan yang ada.
Melihat beberapa kasus penolakan jenazah pasien corona
dikampung halaman dengan dalih takut terpapar. Sikap over convidence atau
reaksi berlebihan demikian tidak sewajarnya dipertontongkan sesama muslim.
Menandakan minimnya kepercayaan kita terhadap ahli medis. Notabenenya protokol
penguburan jenazah khusus pasien corona tidak lepas dari pendapat-pendapat
ulama dan aturan medis yang dijamin aspek kesehatannya.
Sebagai langkah konstruktif bahwa moderasi islam sangat
relevan dalam konteks nilai aswaja yang ajarkan di PMII. Kiranya perlu
merefleksi kembali gerakan dan pemikiran dalam menyoal pro kontra pandemi.
Selayaknya PMII dengan perilaku washatan-nya perlu diaktualkan baik dalam
bentuk edukasi maupun aksi dimasyarakat.
Ikhtiar PMII dan sikap moderat bukanlah barang baru diruang
diskusi kita. Tinggal bagaimna kita mengupayakan semaksimal mungkin
Implementasi gerakan dalam mewujudkan sikap toleransi kita ditengah pandemi
mesti dituangkan. Tidak abai dan apatis dengan problem yg krusial.
Sedikit berceloteh "teori tanpa aktualisasi adalah
fiksi. Maka mari berkreasi dan tetap ngopi".
Salam pergerakan..!!!
*Tulisan ini merupakan hasil rumusan dari kajian pada hari
selasa, 14 April 2020 dengam tema "Moderasi Islam di Masa Pandemi".
H. Islamul Haq selaku pemateri dalam kajian tersebut.
Post a Comment