![]() |
| Penulis |
Nama: Asmal
Prodi: Pendidikan Bahasa Arab
Opini -- Ada saat-saat ketika alam tidak datang sebagai sahabat, melainkan sebagai pengingat yang keras dan tak terelakkan. Ia berbicara melalui air yang melampaui batas dan tanah yang kehilangan pijakan, seakan ingin mengatakan bahwa ada sesuatu yang tidak lagi seimbang dalam cara manusia memperlakukan ruang hidupnya. Pesan itu hadir dalam bentuk yang nyata dan sering kali menyakitkan. Suara alam tersebut tidak pernah tiba-tiba; ia lahir dari proses panjang yang perlahan, berlapis, dan kerap luput dari perhatian publik maupun pengambil kebijakan.
Banjir bandang dan longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat bukan sekadar kabar duka yang lewat di layar berita lalu menghilang begitu saja. Ia adalah cerita lama yang terus berulang, seolah alam sedang mengetuk ingatan kolektif kita tentang hubungan yang kian rapuh antara manusia, ruang hidup, dan kebijakan yang mengaturnya. Air yang meluap dan tanah yang runtuh tidak hadir secara tiba-tiba; ia membawa jejak panjang dari keputusan-keputusan yang pernah diambil, dikompromikan, lalu perlahan dilupakan.
Dalam situasi seperti ini, peristiwa yang terjadi sulit dipahami semata sebagai gejala alam yang berdiri sendiri. Ketika hutan kehilangan fungsinya, sungai kehilangan ruang alaminya, dan pembangunan bergerak lebih cepat daripada pertimbangan ekologis, maka hujan berubah dari berkah menjadi peringatan yang berulang. Di titik inilah pertanyaan itu menjadi relevan dan mendesak untuk diajukan kembali: apakah yang kita saksikan hari ini adalah bencana alam, atau justru bencana kebijakan yang tumbuh di atas kerentanan lingkungan?
Pertanyaan tersebut tidak lahir tanpa dasar yang kuat. Pola kejadian serupa telah berulang dalam beberapa tahun terakhir, bahkan di wilayah yang sama. Kawasan-kawasan ini sejak lama tercatat sebagai wilayah rawan hidrometeorologi dengan tingkat risiko yang telah dikenali. Ancaman bukan sesuatu yang datang tiba-tiba; ia telah dipetakan, diperingatkan, dan dibahas dalam berbagai forum. Namun, pengelolaan risiko kerap tertinggal dari laju perubahan ruang. Ketika peringatan datang berulang kali dan tetap diabaikan, maka yang terjadi bukan lagi kejutan, melainkan konsekuensi yang dapat diperkirakan.
Kerentanan tersebut terbentuk secara perlahan, seiring perubahan tata ruang dan pengelolaan lingkungan yang belum sepenuhnya berpijak pada daya dukung alam. Dalam banyak kasus, tata ruang disusun lebih sebagai dokumen administratif daripada peta risiko yang hidup. Ia menjadi syarat formal pembangunan, bukan instrumen perlindungan ruang hidup. Akibatnya, kawasan yang seharusnya berfungsi sebagai penyangga justru berubah menjadi ruang produksi dan permukiman, tanpa perlindungan ekologis yang memadai.
Alih fungsi lahan berlangsung lebih cepat dibandingkan kemampuan alam untuk beradaptasi dan memulihkan diri. Kawasan hutan menyusut, daerah resapan menghilang, dan sungai dipersempit oleh kepentingan jangka pendek yang dibungkus narasi pembangunan. Di atas kertas, aturan tersedia dan regulasi telah dirumuskan. Namun di lapangan, pengawasan sering kali longgar dan penegakan hukum tidak berjalan konsisten. Ketika regulasi kehilangan daya paksa, kebijakan tak lagi menjadi alat pencegah, melainkan justru menjadi bagian dari persoalan itu sendiri.
Dalam diskursus kebencanaan, perhatian publik sering terserap pada besarnya kerusakan dan jumlah korban, sementara pertanyaan tentang sebab struktural perlahan memudar. Padahal, bencana tidak pernah berdiri sendiri. Ia selalu hadir dalam konteks ruang, waktu, dan keputusan yang mendahuluinya. Ketika peristiwa serupa terus berulang di wilayah yang sama, maka yang patut dipertanyakan bukan hanya intensitas hujan atau kondisi alam, melainkan bagaimana ruang tersebut dikelola dan dilindungi sejak awal.
Relasi antara manusia dan alam sesungguhnya dibentuk oleh kebijakan. Tata ruang menentukan di mana hutan boleh ditebang, sungai boleh dipersempit, dan permukiman boleh tumbuh. Ketika kebijakan gagal membaca batas daya dukung lingkungan, maka ruang hidup berubah menjadi arena risiko yang terus membesar. Dalam kondisi seperti ini, bencana tidak lagi dapat dipandang sebagai kejadian eksternal, melainkan sebagai hasil dari proses panjang yang diciptakan secara sosial dan politis.
Pembangunan yang mengabaikan prinsip kehati-hatian sering kali dibungkus dengan narasi pertumbuhan dan kebutuhan ekonomi. Atas nama investasi dan percepatan pembangunan, ruang-ruang ekologis dikorbankan tanpa perhitungan risiko jangka panjang. Hutan dipandang sebagai cadangan lahan, sungai sebagai saluran teknis, dan lereng sebagai ruang yang bisa ditaklukkan. Logika semacam ini menjauhkan pembangunan dari fungsi dasarnya, yakni menjamin keselamatan dan keberlanjutan hidup manusia.
Ketika bencana kemudian terjadi, negara kerap tampil dalam posisi reaktif. Kehadiran negara baru terasa kuat ketika krisis telah terjadi, sementara upaya pencegahan dan mitigasi berjalan lebih lambat dan kurang terlihat. Padahal, risiko ekologis bukan sesuatu yang datang tiba-tiba. Ia tumbuh dari keputusan-keputusan yang diambil secara berulang, dari kompromi yang terus dibiarkan, hingga akhirnya mencapai titik kritis yang sulit dikendalikan.
Penanganan bencana pun sering berhenti pada respons darurat dan pemulihan sementara. Bantuan logistik, evakuasi, dan rehabilitasi memang penting, tetapi tidak cukup. Tanpa evaluasi mendasar terhadap arah kebijakan pembangunan dan tata ruang, penanganan bencana hanya akan berputar dalam siklus yang sama: rusak, pulih, lalu rusak kembali. Dalam jangka panjang, pendekatan semacam ini justru memperbesar biaya sosial, ekonomi, dan ekologis yang harus ditanggung bersama.
Situasi tersebut menempatkan masyarakat pada posisi yang paling rentan. Mereka hidup dan beraktivitas di ruang yang semakin rapuh, tanpa memiliki kendali atas arah kebijakan yang membentuk kerentanan tersebut. Ketika ruang hidup gagal dilindungi, warga tidak hanya kehilangan rumah dan sumber penghidupan, tetapi juga rasa aman dan kepercayaan bahwa kebijakan publik benar-benar berpihak pada keselamatan bersama.
Ironisnya, masyarakat di wilayah rawan kerap menjadi pihak yang paling sedikit didengar dalam proses pengambilan keputusan. Mereka berhadapan langsung dengan risiko, tetapi jarang dilibatkan dalam perencanaan ruang yang menentukan masa depan mereka. Ketika suara lokal terpinggirkan, kebijakan kehilangan kepekaan terhadap realitas lapangan. Padahal, pengalaman hidup masyarakat sering kali menjadi peringatan dini yang paling jujur dan relevan.
Pada akhirnya, peristiwa yang terjadi di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat seharusnya menjadi cermin bagi cara kita memahami bencana dan kebijakan. Alam mungkin tidak dapat sepenuhnya dikendalikan, tetapi risiko yang ditimbulkannya dapat dikurangi melalui tata kelola yang bijaksana. Perlindungan kawasan penyangga, penataan ruang berbasis risiko, serta penegakan aturan lingkungan bukan sekadar pilihan teknis, melainkan keharusan moral dalam menjaga ruang hidup bersama.
Negara dituntut untuk hadir tidak hanya ketika krisis telah terjadi, tetapi jauh sebelum peringatan itu datang. Kebijakan yang berpihak pada keberlanjutan, mitigasi yang terencana, serta keberanian menempatkan keselamatan warga di atas kepentingan jangka pendek menjadi kunci untuk memutus siklus kerentanan. Tanpa perubahan arah kebijakan yang serius dan konsisten, peristiwa serupa akan terus berulang, dan refleksi ini akan kembali ditulis dengan kata-kata yang sama.
Maka, pertanyaan tentang bencana alam atau bencana kebijakan seharusnya tidak berhenti sebagai wacana. Ia mesti dijawab melalui tindakan nyata dan konsistensi kebijakan. Sebab, bagi masyarakat yang hidup di wilayah rawan, keselamatan bukanlah konsep abstrak, melainkan kebutuhan paling mendasar yang tidak boleh terus ditunda
Opini yang dipublikasikan di media online ini menjadi tanggung jawab penulis secara pribadi. LPM Red Line tidak bertanggung jawab atas persoalan hukum yang muncul atas tulisan yang dipublikasikan.
.jpg)
